DS 05 - Buku

4.4K 403 15
                                    

Temaram di pertangahan malam dengan senyap suara membuatnya tidak berhenti memikirkan resiko terbesar atas kehilangan seseorang yang paling berharga di hidupnya. Terutama pada konsekuensi rindu kala nanti yang pasti akan menyulitkannya untuk bertemu. Ditatapnya deretan foto yang menggantung menghiasi tembok kamarnya. Ada Bama yang sedang tertawa bahagia di balik rasa sakitnya, ada dirinya yang harus merelakan pipi mulusnya menjadi tempat mendaratnya tamparan dari tangan Cindy dan cewek itu terlihat sedang sebal. Ia tersenyum namun air matanya jatuh. Membayangkannya bagaimana saat Bama lepas dari uluran tangannya dan kemudian harus berpindah pada uluran tangan Tuhan yang sudah siap menyambutnya, membayangkan pula jika dirinya hidup tanpa Bama yang meninggalkannya serta meninggalkan Ayah dan Bunda yang kemudian menyisakan sedih dan perih, juga membayangkan ketika ia merelakan Bama yang pernah berbagi tempat di rahim dengannya.

Menarik napasnya yang menyesak, ia ingat saat telinganya tanpa sengaja menangkap penjelasan dari hasil diagnosa dokter bahwa Bama tidak akan bisa bertahan hidup lebih lama lagi dengan jantungnya yang perlahan melemah. Walaupun ia tahu, hasil diagnosa dokter bisa saja berubah karena perubahan rencana Tuhan yang sudah disiapkan untuk Bama. Ia hanya takut pada kematian, meski akhirnya Tuhan akan kembali mempertemukannya untuk bersama. Namun, kematian adalah penjeda temu yang cukup lama.

Bima meraba dadanya. Ada bekas luka di sana dan menunjukkan letak jantung yang pernah saling bersentuhan dengan jantung sang Kakak. Saling berhadap-hadapan dan melekat dekat tanpa penyekat.

Ia sedang bersedih. Hatinya merintih. Katanya perih. Atas luka yang menyayat pedih. Ia berujar lirih. Pada Tuhan agar memberhentikan selisih. Karena ia sudah merasa risih.

~Danke Schön, 25 Juli 2018.

Sudah satu sajak yang ia tulis malam ini. Coba kau hitung, berapa sajak yang ia tulis di buku sakral kecilnya dengan sampul berwarna cokelat tanah basah dan bertuliskan The Journal Kumbala? Mungkin sudah ratusan sajak dan ia tulis di buku yang biasa ia sebut dengan Mr.Secret Book. Buku yang dianggapnya sakral karena ia menaruh setiap isi sanubarinya di dalam buku itu.

"Bim." Panggilan itu lantas membuat Bima langsung menyembunyikan buku sakralnya. Terlihat Bama menongolkan kepalanya di balik pintu. Tak lama kemudian ia berjalan masuk ke dalam kamar sang adik.

"Apaan tuh?" Bama terlihat begitu penasaran dengan benda yang dipegang Bima.

"Kepo amat lo jadi orang," balas Bima dengan sedikit bumbu makian.

"Bagi liat dong," bujuk Bama. Ia mulai bergerak untuk merebut benda itu dari genggaman Bima.

Dengan cepat Bima menghindar dari jangkauan Bama yang begitu ingin tahu benda itu, "Apaan sih lo? Kepo amat!"

"Ayolah. Gue pengin liat, Bim," bujuk Bama.

"Liat apanya? Isinya?"

Bama mengangguk dan tersenyum lebar. Ia terkekeh.

"Kepo lo ah!" maki Bima lagi.

"Gitu amat lo jadi adek." Bama mulai merajuk.

"Dih. Cuma beda sedetik," kilah Bima tak mau kalah.

Bama berdecak, "Sedetik juga berharga. Kalo lo gak dikeluarin saat itu juga, pasti napas lo keburu abis."

"Sotoy lo! Orang bareng kok dikeluarinnya," protes Bima.

"Ayolah Bim. Bagi tau," bujuk Bama lagi.

Sekilas Bima menunjukkan benda yang di pegangnya, "Udah tuh," ujarnya kembali mengamankan barang sakralnya dari jangkauan tangan Bama.

Bama menghela sabar lalu matanya berubah menjadi intens, "Jadi gini, lo mau main rahasia-rahasiaan sama gue? Ayolah, Bim. Jangan tertutup sama gue, kita berbagi cerita. Gue tau bokap galak, tapi gue harap lo gak nyembunyiin apapun itu dari gue."

"Bam." Sebelah tangan Bima terangkat dan megang bahu Bama, "Gak ada yang gue sembunyiin dari lo. Gue cuma belum siap aja buat nunjukin buku ini ke lo. Karena belum selesai gue kerjain. Gue janji, setelah selesai bakal gue tunjukin ke lo," ujarnya meyakinkan.

Bama diam sejenak, "Oke," ucapnya. Namun lain di dalam hati kecilnya yang bersuara seolah memberi tahu bahwa ada yang Bima sembunyikan darinya. Tanpa sengaja matanya menangkap salah satu foto yang berjejer menggantung di tembok tepat di atas meja belajar, "Lo ngapain sih foto kayak gini dipajang?!" ujarnya sebal saat melihat foto itu. Tangannya bergerak ingin meraih foto itu, namun Bima segera menepisnya, "Terserah gue lah. Ngatur-ngatur mulu perasaan. Heran gue, cuma beda sedetik juga kayak beda sepuluh tahun."

Bama terkekeh.

"Udah sana lo tidur. Besok sekolah," ujar Bima mengacu pada pengusiran.

"Lo juga."

"Gue masih libur dua hari. Sana lo tidur, jangan kayak zombie."

"Lo juga. Jangan kayak kalong."

"Bawel!"

Bama tertawa kecil melihat kekesalan adiknya. Lantas ia beranjak keluar dari kamar Bima dengan tanpa meninggalkan sepatah kata lagi. Ia menutup pintu kamar Bima dengan kembali rapat.

Setelah Bama keluar, napas Bima menghembus lega sepuas-puasnya. Kedatangan Bama saat dirinya mulai bersajak cukup menguji kesehatan jantungnya yang nyaris turun drastis. Ia menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Lalu menatap langit-langit kamar. Ia menghela lagi kemudian menolehkan kepalanya ke arah balkon kamar milik Cindy yang berada di seberang pagar rumahnya.

Lantas ia bangkit dan berjalan menuju pintu balkon. Menyibakkan gorden jaring putih yang menghalangi jendela kamarnya dan ditatapnya balkon kamar cewek itu yang sudah terlihat gelap. Mungkin si Ratu Kidul sedang bergelut dengan mimpi-mimpinya malam ini. Ia mengembangkan lengkungan bibirnya ke atas. Debaran di dalam sanubarinya seolah semakin hebat ia rasakan. Seperti ada hal lain yang terus menarik-narik perasaan anehnya. Namun di sisi lain, ia merasakan kalau Bama pun menaruh hati pada cewek galak itu.

Menghela napasnya panjang, "Jangan khawatir, Bam. Hidup gue, hidup lo juga," gumamnya pada diri sendiri. Ia seakan siap jika harus merelakan hal paling penting dalam hidupnya, yaitu jantungnya. Ia siap memasang badan jika harus bertukar jantung dengan jantung milik Bama atau bahkan dengan jantung buatan yang sewaktu-waktu akan rusak hingga mengancam nyawanya.

Andai ada tingkatan rasa sakit, mungkin yang sering Bama alami lah yang paling sakit. Kata dokter, ia mengalami kelainan jantung sejak lahir atau biasa disebut penyakit jantung bawaan. Ada banyak jenisnya, namun yang Bama alami adalah Anomali Ebstein biasa disingkat AE.

Anomali Ebstein terjadi ketika katup trikuspid jantung yang membatasi atrium dengan ventrikel kanan tidak berfungsi dengan baik, mengakibatkan aliran darah pada jantung kanan menjadi kacau dan ventrikel kanan mengecil. Anomali ini dapat terjadi dengan atau tanpa adanya kecacatan lain pada jantung. AE tergolong sangat jarang terjadi, yakni hanya 1% dari penderita penyakit jantung bawaan.

Dokter menyarankan serangkaian pemeriksaan, seperti ekokardiografi, transesophageal echocardiography, elektrokardiogram, foto rontgen, CT scan dan MRI, stress tes, pulse oximeter, terakhir kateterisasi jantung.

Beberapa cara pengobatan yang disarankan, seperti pemberian obat-obatan, operasi, pengaturan pola makan dan olahraga.

Terkadang, setiap hari libur Bima tak jarang mengajaknya untuk berolahraga meski hanya lari-lari kecil di depan rumah atau taman di halaman belakang rumah yang luas. Namun tak dapat dipungkiri saat penyakit itu kembali menyerang tubuhnya, membuatnya yang terlihat gagah begitu rapuh, yang semula tegak menjadi mudah jatuh.

"Operasi," gumam Bima lagi sebelum memutuskan untuk merebahkan tubuhnya di atas kasur empuknya.

TBC...

DANKE SCHÖNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang