DS 17 - Masa

3.7K 428 60
                                    

Lima hari kemudian setelah terkurung dalam tahanan, akhirnya Bima bisa dibebaskan. Suara gemerincing kunci yang diputar membuatnya kemudian mendongakkan kepalanya. Di belakang polisi itu ada Wira bersama wajah datarnya. Tanpa ekspresi sama sekali.

Bima bangkit dengan pandangan penuh tanya sebelum polisi di hadapannya berucap, "Anda dibebaskan sekarang." Ia mengangguk lalu keluar dari balik jeruji besi. Mengikuti langkah Wira yang berlalu tanpa sepatah kata.

Langkah Bima berhenti saat Wira masuk ke dalam mobilnya. Bima tidak yakin jika akan satu mobil meski dengan ayahnya sendiri. Ia menarik resleting jaketnya. Mobil itu tak kunjung beranjak dari tempat parkirnya.

"Sampai kapan saya menunggumu di situ?" tanya Wira dari dalam mobil.

Ah, rasanya sangat canggung sekali. Bima belum juga bergerak dari tempatnya. Namun dua detik berikutnya ia memilih untuk masuk ke dalam mobil bersama Wira.

Bima duduk di seat depan. Kemudian menyandarkan tubuhnya yang lelah pada sandaran. Memejamkan matanya dan memilih untuk tidur. Lagipula jarak antara kantor polisi dengan rumahnya dapat ditempuh sekitar 45 menit lamanya. Terlelap.

Taman indah dengan banyaknya kupu-kupu yang berterbangan. Bersama jaringnya ia berlari untuk berusaha menangkap satu kupu-kupu itu. Tertawa, saat kupu-kupu yang dikejarnya malah hinggap di hidungnya. Ia bahagia. Bima kecil nampak sangat bahagia.

Wanita itu tersenyum hangat ke arahnya. Sanggup membuat Bima yang tengah berlari menjadi berdiam diri dan membalas tatapan hangat itu. Ia tersenyum dan menghampiri wanita itu. "Mom," panggilnya.

Namun ia mengernyit saat wanita yang dipanggilnya Mama malah semakin menjauh seperti kabut yang tertiup angin. "Mom!" panggilnya lebih keras lagi. Ia berlari lebih cepat lagi. Berusaha menggapai wanita paling berharga di hidupnya agar tidak hilang begitu saja.

Namun wanita itu seakan cepat menghilang. "Mom, don't go! Please!" teriak Bima. "I'm please, Mom. Don't go!" pekiknya lagi terus mengejar wanita itu.

"Moooommmm!!!"

Bruk!

Sesuatu seperti menghantam tubuh mungilnya. Membuatnya seketika menggelepar tak berdaya.

Bima terbangun dengan keringat yang deras membasahi tubuhnya. Jantungnya berdebar hebat. "Ma," gumamnya mengingat mimpi tadi. Ia tidak memedulikan Wira yang menepikan mobilnya di bahu jalan.

"Okey. Just dream. Just bad dream," lirih Bima menenangkan dirinya sendiri. Napasnya sedikit memburu.

Wira tahu. Kegelisahan itu dan teriakan penuh ketakutan tadi saat Bima meracau dalam mimpinya membuktikan bahwa ingatannya perlahan kembali. Peristiwa lima belas tahun lalu yang hampir merenggut nyawanya sekarang seakan terputar kembali dalam mimpi tadi.

Pening. Bima memijat perlahan dahinya. Wira tidak mengatakan apapun, padahal ia yakin kalau pria di sampingnya merasa sangat terganggu dengan racauannya tadi. "I'm sorry," ucap Bima.

"Ok. No problem," balas Wira ringan.

Bima menghela panjang. Ia kembali menyandarkan punggungnya dengan nyaman. Banyak kecamuk yang ingin ia curahkan, kepada siapapun itu yang terpenting adalah seorang pendengar yang baik. Terlebih tentang mimpi-mimpi itu yang membuatnya selalu mengernyit tidak mengerti. "I do not understand lately who often dreams of a woman I always call Mom," ujar Bima bersama pandangan kosongnya.

Wira hanya diam. Memilih untuk tidak menyahutnya.

***

Untuk menyambut kepulangan Bama dari rumah sakit, atas permintaan wanita tua itu segalanya sudah dipersiapkan. Bima turun dari mobil, ramai. Banyak orang-orang yang berlalu lalang untuk memindahkan barang-barang. Rumah dengan gaya klasik ini membuat banyak tanya di benaknya.

"Bim." Bima menoleh. Itu Sarah sedang mendekat ke arahnya. "Kamu siap-siap ya? Nanti malam kita makan bersama," jelas Sarah mengusap punggung Bima.

Bima hanya mengangguk saja meski sebenarnya ingin menanyakan Bama di mana sekarang. Tapi ia urungkan dan segera melesat masuk ke dalam rumah klasik itu. Ornamen di dalamnya seketika membuatnya hanyut dalam masa puluhan tahun silam. Apalagi saat melihat struktur bangunannya yang begitu familiar. Persis seperti rumah peninggalan masyarakat Eropa yang pernah menduduki tanah Jawa.

Langkahnya pelan menyusuri interior bangunan tua ini. Ia tidak peduli dengan banyaknya orang yang sibuk mendekorasi untuk pesta nanti malam. Kakinya berhenti, tepat di depan nakas antik dengan ukiran yang rumit. Di atasnya terdapat pas foto yang bertengger gagah, seperti mengilustrasikan betapa tangguhnya potret sosok Kakek yang tengah tersenyum ringan bersama dua cucu kembarnya yang tengah digenggamnya. Bima tahu, siapa pria tua di dalam foto itu, yaitu sosok yang pernah menyayanginya setelah wanita bak bidadari yang akhir-akhir ini mengisi mimpinya.

Menghela sejenak. Ia beranjak dari tempat itu. Lalu menaiki puluhan anak tangga yang akan mengantarkannya pada loteng rumah yang luas. Tangan Bima menyentuh gagang pintu lalu membukanya.

Tidak ada yang banyak berubah dari loteng ini. Dekorasinya tetap sama seperti dulu ketika masih ada pria tua itu dan istrinya masih bisa bersikap baik pada dirinya. Lukisan bertema panorama alam yang tergantung di dinding sebelah timur pun seperti menunjukkan bahwa tempat ini tidak banyak disentuh. Bima ingat, itu lukisan hasil tangan pria tua itu yang melukisnya langsung di atas bukit hijau.

Kaki Bima bergerak menuju tepian ranjang dan duduk di sana. Ranjang ini terletak tepat di tengah ruangan. Sebelah kanannya ada lemari antik besar. Lalu sebelah kirinya ada meja belajar yang pernah ia gunakan untuk belajar mengeja deretan kata bersama Bama. Tangannya bergerak mengusap seprei yang terasa lebih terawat. Halus nan sejuk.

Angin silir berhembus menguraikan rambutnya yang kusut. Ia menoleh pada jendela yang terbuka lebar. Bangkit dan mendekat. Menyembulkan sedikit kepalanya keluar untuk menikmati angin sejuk itu. Matanya mengedar luas ke seluruh area perkebunan teh, pohon-pohon rindang dan segala semak belukar yang nampak tertata. Jalan setapak dari ujung perbukitan yang menurun membuatnya rindu masa-masa itu. Masa saat pria itu banyak bercerita di sepanjang jalan saat setelah menengok para petani kebun teh miliknya hingga akhirnya sampai ke rumah dengan ornamen klasik ini sambil menikmati secangkir teh buatan ... Mama?

Jantungnya berdebar saat harus mengingat wanita itu. Ia meraba dadanya. Memilih untuk terduduk di lantai dan bersandar di dipan ranjang. Merunduk, berusaha menenangkan gejolak masa yang mulai memporak-porandakan ingatannya.

"Mom. Where are you?" tanya bocah kecil yang tengah kebingungan itu.

"I'm here, my son," jawab seseorang. Suaranya persis dengan wanita yang selama ini ia cari.

"Mom?" panggil bocah kecil itu lagi.

"Yes," sahut wanita itu lagi.

"Where are you?" Pertanyaan itu lebih terdengar bergetar.

Hening. Tidak ada jawaban. Membuatnya hidup seperti di ruang kosong yang gelap.

"In your heart," jawab wanita itu. Seperti memberikan secercah cahaya jalan keluar dari ruang gelap yang menyekap bocah kecil tadi.

"Mom. Don't go!" teriak bocah itu dengan berlari sekencang-kencangnya untuk mengejar cahaya yang akan membawanya keluar dari tempat kosong ini.

"Mom!" pekiknya lagi terdengar lebih memekakkan telinga.

Bima seketika menegakkan tubuhnya. Napasnya memburu dan peluh yang bercucuran membasahi seluruh tubuhnya. Pening. Sakit di kepalanya yang tiba-tiba terasa tak tertahan membuatnya harus membentur-benturkan kepalanya di dipan ranjang. Menjambaki rambutnya berharap rasa sakit itu segera hilang.

TBC...

DANKE SCHÖNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang