DS 15 - Awal

4K 400 22
                                    

Semburat hangat dari cahaya matahari pagi yang melintasi jendela kamar menyentuh tubuh lusuhnya. Bima menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Ray menatapnya dengan prihatin. Ia datang dengan membawakan susu hangat untuk Bima.

"Nih minum," ujar Ray diangguki kepala Bima. Lalu ia duduk di samping bocah lusuh itu.

Sebelum meraih susu hangat itu, Bima menghela panjang dengan berat.

Ray hanya diam memperhatikan. Pasti ada yang akan Bima katakan kepadanya. "Apa gue terlalu memendam ini sendirian?" tanya Bima yang entah ke mana arah pembicaraannya.

Ray mengernyit tidak mengerti. "Maksud lo?" tanyanya menatap luruh ke arah Bima.

"Gue udah tau semuanya. Siapa gue yang sebenernya," jelas Bima tapi masih belum dimengerti oleh Ray.

"Bim---" Ucapan Ray, Bima penggal begitu saja. "Gue cuma anak dari---" Bima tidak bisa mengungkapkan semuanya. Terlalu sakit untuk diceritakan sekarang. Tanpa sadar ia meremas rambutnya dengan kuat. Seperti ada sesuatu yang paling hitam untuk ia keluarkan saat itu juga. Ia merunduk dalam.

"Tenangin diri lo, Bim," ucap Ray menenangkan sahabatnya yang tengah kalap. Ia merangkul Bima dengan erat hingga merasakan tubuh itu bergetar. Bima menangis, ia terlihat benar-benar rapuh. Tawanya selama ini terbukti palsu. Tangisnya kali ini membongkar semua kebohongannya. Ceria tanpa luka saat ini hanyalah omong kosong tanpa makna.

Di hadapan Ray Bima terjatuh, terpuruk dengan begitu dalam. "Tuhan gak akan ngebiarin lo lemah, Bim," ucap Ray.

Bima semakin tersedu. Lubang penuh luka di sanubarinya semakin dalam. Yang perlahan dan dengan susah payah ia kubur, kini kembali membuka tanpa ampun.

"Lupain semua yang bikin lo sakit jika itu perlu," tambah Ray.

Seketika Bima menghentikan tangisnya. Ia menatap Ray, ada satu hal yang baru ia ingat. Tangannya dengan cepat menyeka air matanya. "Gue pinjem motor lo, Ray," ucapnya langsung mendapatkan reaksi penuh selidik dari Ray, "Mau ke mana?"

"Nanti gue jelasin. Sekarang pinjem motor lo. Mana kunci motor lo?" paksa Bima tidak bisa menunda-nunda lagi.

"Gue ikut," tegas Ray khawatir akan terjadi sesuatu pada Bima.

"Gue gak mau terlibatin orang lain dalam masalah ini," tolak Bima.

Ray hanya bisa menghela. Bima terlalu keras untuk disebut kepala batu. Dengan terpaksa tangannya masuk ke dalam laci meja untuk mengambil kunci dan memberikannya pada Bima.

Bocah tengil itu langsung melesat begitu menerima kunci motor milik Ray.

***

Jalanan yang merentang padat ia belah dengan cepat. Dua mata tajamnya fokus menatap arah jalan di depannya. Tidak ada hal yang paling sakit selain tidak mendapatkan pengakuan dan selalu dibenci.

Saya tidak akan meminta orang lain untuk menyukai saya. Saya tidak akan memaksa orang lain agar senang kepada saya. Saya hanya ingin kalian tahu, saya rindu dipedulikan oleh orang yang saya pedulikan.

~Danke Schön, 3 Oktober 2019.

Perlahan stereotip itu masuk ke dalam ruang pikirnya. Mengisi imajinya dengan segala hal yang tidak mungkin terulang. Kehangatan, dongeng sebelum tidur, bermain di halaman rumah nenek yang luas dan ... hilang.

Dengan cepat Bima tersadar saat kendalinya mengendarai motor mulai hilang seperti asap yang membumbung ke udara. Ia berusaha untuk terhindar dari kendaraan lain yang hendak berbelok di persimpangan jalan tanpa harus menabraknya. Namun semua itu berlangsung terlalu cepat baginya, kendaraan roda dua di hadapannya terlalu sulit untuk ia hindari. Hingga tubuhnya harus terjatuh dengan kening yang membentur keras gagang kemudi motor. Kecelakaan pun tak dapat ia hindari.

Buram. Pandangannya kabur. Bima segera sadar apa yang telah terjadi. Ia sudah mencelakakan orang lain karena kelalaiannya dalam berkendara. Meski dengan tubuh penuh luka ia segera bangkit untuk membantu korban kecelakaan itu. "Maaf, Mas. Maaf," ujar Bima merasa bersalah. Ia segera membantu orang itu yang tersungkur karena ulahnya.

Keadaan mulai ramai. Hujatan dari berbagai macam mulut mulai terlontar untuknya.

"Yang bener dong naik motor tuh!"

"Tanggung jawab, Mas. Kalo gak saya laporkan ke polisi."

"Bisa nyetir motor gak sih?!"

"Haduh! Dasar anak muda jaman sekarang."

Jujur. Bima jengah dengan orang-orang seperti itu. "Banyakin bantu biar dapet pahala. Jangan banyakin bacot!" serunya pada orang-orang yang menghujat dirinya.

***

Di kejauhan gadis itu mengernyit. Otaknya bekerja dua kali lebih keras untuk mencerna apa yang telah terjadi di seberang sana. "Di sana ada apa, Mba?" tanyanya pada seorang perempuan yang baru saja akan masuk ke dalam toko.

"Kecelakaan," jawab Mba tersebut. "Biasa lah. Lagi ngantuk bawa motor," tambah yang di sebelahnya.

Tanpa menjawabnya lagi, gadis itu berlalu untuk mendekati kerumunan yang ada di seberang jalan. Namun kedua netranya memicing tajam saat tahu siapa yang menjadi korban laka lantas tersebut. Langkahnya semakin cepat mendekat. "Bima," panggilnya memastikan.

Bima yang sedang memapah korbannya menoleh. Ia menatap Luna yang berdiri penuh rasa terkejut.

"Biar gue bantu," ujar Luna segera membantu Bima untuk memasukkan orang yang dipapahnya ke dalam mobil taksi yang dipaksanya berhenti.

"Lo gapapa?" tanya Luna terlihat jelas ada semburat rasa khawatir di kedua matanya setelah orang yang dipapahnya tadi masuk ke dalam mobil.

Bima menggeleng. Lalu perhatiannya tertuju pada supir taksi dan salah satu warga untuk mengantarkan korban kecelakaan itu ke rumah sakit dan menjelaskan kalau ia akan menyusulnya nanti sebagai tanggung jawab.

"Gue gak sengaja liat lo. Jadi ke sini," jelas Luna.

Bima hanya diam. Apa pedulinya Luna? Lagi pula cewek di depannya itu tidak berpengaruh apa-apa untuk dirinya. "Gue duluan," pamitnya singkat. Langsung masuk ke dalam mobil polisi yang baru saja datang untuk menjemputnya.

"Bim." Tangan Luna cepat meraih pergelangan tangan Bima. "Gue ikut," tambah Luna.

Bima hanya menghela. Ia tidak berkata apa-apa sampai akhirnya seorang petugas polisi mendorongnya untuk masuk ke dalam mobil dan dengan keputusannya sendiri Luna ikut masuk. Bima tidak berkomentar apapun dengan keputusan cewek yang kini berada di sebelahnya.

Mobil yang sedang ia tumpangi hening. Tanpa geming. Dua orang polisi di hadapannya pun lebih memilih untuk fokus pada jalanan padat di hadapannya. Bima menoleh ke arah Luna, berpikir sejenak apa yang membuat gadis di sampingnya ini mau berkorban dan ikut dengannya? Apa kah ia peduli dengan semua ini atau hanya karena kasihan saja seperti yang Cindy lakukan padanya?

Soal Cindy, hatinya meronta penuh bayang-bayang rasa cinta untuk gadis itu. Ia menyayanginya. Ah, kenapa bukan Cindy saja yang masuk dan ikut dengannya?

Mata itu akhirnya bertemu. Dalam diam Luna menatap pemilik sepasang netra hitam pekat itu. Mata yang selalu berbohong tentang keadaan rapuhnya. Namun sayang, Luna tidak tahu-menahu soal itu.

TBC...

DANKE SCHÖNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang