🏡

5.8K 577 47
                                    

Udara sejuk berhembus dengan membawa wewangian aroma bunga. Jika tiap hari yang biasa ia cium hanyalah wangi asap dari kendaraan bermotor, maka wangi bunga yang tengah bermekaran adalah yang ia hirup di dua minggu terakhir ini.

Ya, ia sudah resmi pindah ke desa masa kecilnya. Dulu ia sempat berada di dini hingga usianya lima tahun, sampai ayahnya menemukan pekerjaan yang lebih baik di kota, sama sekali tidak ada dalam rencananya ia akan tinggal disini lagi. Terlebih dengan anak-anaknya.

Semua barang sudah ia tata dengan rapi, anaknya pun sudah mulai masuk sekolah dua hari yang lalu. Dan yang paling ia syukuri adalah, sekolah anaknya yang hanya berjarak 500m dari rumahnya.

Rumahnya juga begitu dekat dengan peternakan domba milik Kiba dan peternakan lebah milik Shino. Rasanya ia sangat beruntung.

Ia mengelus perutnya yang rata dan berkata, "apa semua kemudahan yang mama dapatkan ini berkat kehadiranmu nak.?"

Sejak hari itu, Hinata selalu memiliki perasaan sesuatu telah tumbuh di perutnya, meski ia telah meminum obat. Tapi perasaan itu tak bisa ia hilangkan, hingga akhirnya yang bisa ia lakukan adalah mensyukurinya, dan memberikan nutrisi terbaik yang bisa ia berikan.

Kiba selalu mengantarinya sebotol susu dua hari sekali, dan Shino memberinya sebotol madu tiap seminggu sekali. Dan yang paling penting, semua harga kebutuhan pokok di desa, semuanya murah.

"Hinata.! Kau mau kemana.?" Kiba menyapa Hinata saat sedang jalan-jalan dengan anjingnya, Akamaru.

"oh, entahlah. Aku bosan di rumah, aku ingin cari kegiatan." Hinata pagi itu mengenakan kaos putih dan sweater rajut coklat muda yang sangat tebal, udara pedesaan sangatlah berbeda dengan kota.

Pagi hari sangat dingin, menjelang siang tetap dingin, dan malam hari apa lagi. Hinata tidak tau, apakah memang udara pedesaan seperti itu, atau hormon yang memengaruhinya.

"oh, kau mau ikut aku.? Ada perkebunan bunga di sekitar sini." mata Hinata langsung berbinar. "tentu."

Mereka berjalan pelan-pelan sambil bercerita, mengenai keseharian Kiba, dan kehidupan Hinata di kota.

Kiba berjanji akan membawanya ke peternakannya saat Hima dan Bolt libur sekolah.

Kiba sangat marah dan berkata kasar saat Hinata menceritakan tentang mantan suaminya. Terlebih saat ia tau kini Hinata sedang mengandung.

Tentu Hinata tidak mengatakan siapa ayah anak yang di kandungnya kini, itu hanya akan memperburuk keadaan. Ia hanya bilang bahwa kini ia telah berpisah dan tidak ada yang perlu Kiba khawatirkan.

"nah, kita sampai." Kiba berkata pada Hinata yang entah sejak kapan tangannya ada di genggamannya.

"oh, Kiba-nii.?" seorang pemuda berambut putih menyapa mereka. Ia mengenakan pengikat kepala dan sarung tangan yang berlepotan dengan tanah.

"Toneri, kenalkan. Hinata." Kiba melepas tautan tangannya dengan Hinata. Dan Hinata pun bersalaman dengan pria itu.

"halo, salam kenal." Toneri memperhatikan wajah Hinata beberapa saat sambil terbengong, sementara Hinata masih menunggu, kapan pemuda ini akan melepas genggaman tangannya.

"hei, udah salamannya." Kiba menepuk pundak Toneri.

"hehe, silahkan duduk Nata-chan, pasti capek kan.?" Toneri mempersilahkan Hinata duduk di kursi yang ada di halaman rumah.

"ah, sama sekali tidak kok." kata Hinata, tapi tak urung ia duduk di tempat yang di sediakan oleh Toneri.

"mana mungkin tidak capek, kalo sedari tadi Nata-chan terus berlari-lari di pikiranku.?" secara refleks Kiba langsung menjitak kepala Toneri, membuat pemuda itu menggerutu.

its that whyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang