Janji suci (2)

1.9K 99 2
                                    

     Hiruk pikuk sudah terasa dari subuh tadi. Saudara-saudara perempuan yang sibuk berdandan, suara riuh di belakang tempat tukang masak menyiapkan makanan dan juga kaum laki-laki yang sibuk menyiapkan kursi. Aku juga sudah dirias oleh mbak Dewi, perias penganten sahabat mbakku. Beberapa kali perias cantik itu protes karena aku menolak didandani ala penganten yang sebenarnya.

      "Biar beda Dik, mosok biasa gini. Ini niat nikah gak sih," omelnya kesal.

      "Iki wis beda Mbak, biasanya aku cuma pake beda dan lipstik," jawabku ngeyel.

      "Yo wis terserah, penganten aneh," sahutnya pasrah. Perempuan cantik itu kembali bekerja sesuai keinginanku.

      Jam 8 lebih pintu kamar diketuk dari luar. Mbak Dewi bergerak membuka pintu, Ibu masuk sudah berkebaya rapi.

     "Sudah selesai belum? Keluarga mas Dama sudah datang lho?"

      "Sebentar lagi Bulik, tinggal membetulkan sanggulnya," mbak Dewi yang menjawab.

      "Ya udah, mbak Dewi jangan lupa makan dulu sebelum pulang,"

      "Gampang bulik"

      "Ayu kamu By, pantas dipanggil yunan beneran," goda Ibu sebelum keluar meninggalkan kami.

      "Yunan opo Dik?" Tanya mbak Dewi kepo.

      "Mbah ku Purwodadi dulu memanggilku yunan, ayu tenan," sahutku tertawa. Mbak Dewi ikut tertawa, mungkin menertawakan kekonyolan mbah Rayiku.

                     ***

      Seperti yang aku bilang, tak ada yang istimewa dari pernikahan kami. Dekorasi gereja sangat sederhana, aku yang minta. Bagiku gak penting glamour tanpa makna kalau ujungnya bercerai.  Apalagi pernikahanku juga tidak dilandasi cinta, ini pernikahan karena kepepet usia.

      Seperti raja dan ratu sehari, kami masuk ke dalan gereja diiringi musik "The prayer", diawasi sekian banyak mata membuat jalanku terasa berat. Sementara Mas Dama berjalan disampingku dengan mantap, senyum manis menghiasi bibirnya yang biasanya kaku.

      Acara berjalan lancar, kotbah pesan pendeta sudah selesai. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia."

Pesan standar yang biasa diperdengarkan saat pemberkatan perkawinan tetapi cukup menyentilku. Aku diingatkan untuk mengikat diri, menyatu dengan laki-laki di sebelahku.

       "Silahkan kedua mempelai salinh berhadapan untuk mengucapkan ikrar di hadapan Tuhan dan jemaat di sini," Kami berdiri berhadapan, mas Dama tersenyum. Tak ada sedikit pun ketegangan diwajahnya.

       "Saling berjabatan tangan. Dimulai dari mempelai laki-laki, silakan,"

       "Di hadapan Tuhan dan jemaat Tuhan di sini, Saya  Damara Saputra menerima Abygail Dara Nandira sebagai istri saya, untuk saling memiliki, mencintai dan menjaga sekarang dan selama-lamanya. Pada waktu suka mau pun duka, kelimpahan maupun kekurangan, sehat maupun sakit, untuk saling menyayangi dan menghargai sampai maut memisahkan kita. Inilah janji suci saya padamu," janji suci sudah diucapkan mas Dama dengan mantap.

    "Silahkan mempelai perempuan mengucapkan janjinya,"

   "Dihadapan Tuhan dan jemaat Tuhan di sini, saya Abygail Dara Nandini menerima Damara Saputra sebagai suami saya, untuk saling memiliki, mencintai dan menjaga, sekarang sampai selama-lamanya. Pada waktu suka maupun duka, kelimpahan maupun kekurangan, sehat mau pun sakit, untuk saling menyayangi dan menghargai sampai maut memisahkan," Aku tersenyum lega. Bisakan aku benar-benar mencintainya?

       Setelah pengucapan janji suci, kami bergantian menyematkan cincin pernikahan tanda pengikat hati kami.  Mas Dama menatapku lembut, tatapan yang tidak pernah dia berikan padaku.

       "Istrinya boleh dicium lho Mas, jangan dilihati saja," goda pak Pendeta yang disambut tawa jemaat. Aku tersipu malu, si bapak bisa saja nih. Perlahan mas Dama mencium keningku lama, lalu berbisik.

       "Aku mencintaimu"

Bekasi, 27 Juli 2019

                  ****

      

Aku jatuh cinta lagi (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang