Jatuh cinta

6.3K 158 3
                                    

     Kehadiran Jes dalam kehidupan kami merubah banyak hal. Sejak kehamilanku yang diawali drama pingsan di kantor hingga prosesnya tujuh bulan kemudian, membawa berkah buat hubungan kami. Mas Dama menjadi semakin perhatian, kadang malah terlalu lebay dengan perhatian dan larang-larangnya. Aku yang biasa mandiri, tidak terlalu suka dengan tingkah anehnya.

     "Aku aja ya masak, kamu duduk saja di ruang tamu. Atau tiduran di kamar," larangnya saat aku mau masak setelah diijinkan pulang dari rumah sakit.

     "Aku gak papa Mas, aku sehat. Anakmu juga sehat," bantahku tak suka.

     "Sayangku, kamu istirahat aja dulu ya. Kamu kan baru pulang dari rumah sakit," jawabnya ngotot. Setelah berdebat cukup lama, akhirnya aku mengalah. Memberi kesempatan suamiku melakukan peranannya sebagai calon bapak yang baik.

      Sikap protektif mas Dama semakin menjadi seiring usia kehamilanku. Apa-apa gak boleh, kemana-mana selalu dikawal, hanya cari duit yang masih boleh dan bebas kawalan hehehe.

      "Mas, nanti pulang kantor aku mencari baju sama mbak Rasti ya. Njenengan jemput aja di Mall,"  Kukirim pesan singkat minta ijin untuk jalan dengan mbak Rasti sahabatku. Aku bosen, sejak hamil gak boleh kemana-mana kalau gak sama dia. Aku tahu kemungkinan mendapat ijinnya bakal kecil banget, apalagi perutku sudah semakin besar. Tidak ada salahnya dicoba kan?

      Lima menit kemudian, bojoku calling. Alamat gak bagus ini.

     "Iya Mas," kusambut salamnya dengan perasaan gak enak.

     "........" Benerkan gak boleh.

     "Cuma sebentar Mas, janji gak kemana-mana. Hanya beli baju saja," aku masih mencoba merayu.

     "......."  Aduh, kenapa jadi lebay gini sih. Banyak ibu hamil di luar sana yang masih bisa melakukan aktivitas apa saja. Aku juga bisa kok.. Berdebat seperti apa pun keputusannya tetap sama, tidak boleh.

      Kesel banget diperlakukan seperti perempuan lemah hanya karena hamil. Rencana jalan-jalan gagal total, mbak Rasti tersenyum saja mendengar keluhanku.

      "Dama sayang sama kamu, dia mengkuatirkanmu kalian. Apalagi waktu hamil pertama kali kamu sampai pingsan segala," hiburnya.

      "Aku pingsan bukan karena lemah mbak?" Sahutku membela diri.

      "Aku tahu, kamu kecapekan karena lembur terus kan. Dan tidak makan dengan benar, gak tahu kalau lagi hamil juga. Bener kan," godanya tersenyum. Perempuan cantik itu paling tahu caranya membuatku memahami sesuatu. Alasan itu yang selalu aku gunakan untuk mematahkan asumsi penyebab pingsanku waktu itu.

       "Bersyukur By, kamu memiliki Dama yang begitu perhatian. Menjaga kehamilanmu dengan baik, coba kalau kamu punya suami yang cuek. Lebih sakit hati tahu. Yuk pulang, Dama sudah menunggu di luar tuh," tanpa bicara aku mengikuti mbak Rasti keluar dari kantor. Faktanya apa yang dikatakan sahabatku itu benar.

                     ****
       "Sakit Mas, kapan keluarnya?" Aku meringis menahan rasa sakit. Sejak jam sepuluh malam, perutku mules. HPL masih dua minggu lagi, Aku pikir mules itu akibat  kebanyakan sambel tadi sore.

      "Baluri minyak angin terus tidur saja. Biar lebih enakan," saran mas Dama karena keluhanku. Aku menurut dan benar mules itu berangsur menghilang. Jam 3 pagi, aku terbangun. Mules itu datang lagi, kali ini semakin sakit. Aku beranjak turun ke kamar mandi. Flek merah membuatku panik. Aku segera kembali ke kamar membangunkan suamiku dari tidur pulasnya.

      "Kenapa, kok sudah bangun?" Tanyanya diantara kantuknya.

      "Aku ngeflek mas, perut makin mules,"

      "Kita ke rumah sakit sekarang," putusnya cepat. Dia langsung melompat, mengambil tas perlengkapan yang memang sudah aku siapkan. Membangunkan Ibu untuk berpamitan dan berangkat ke rumah sakit.

       Sudah empat jam, frekuensi mules semakin sering. Begitu datang tadi baru pembukaan dua, oleh dokter diminta jalan-jalan di seputar kamar. Setengah jam yang lalu, aku memaksa untuk diperiksa lagi. Sudah tidak tahan lagi. Dan disinilah aku sekarang, terbaring menahan mulas ditemani suami siagaku.

       "Sabar sayang, sebentar lagi anak kita keluar," bisiknya lembut. Tangannya mengelus pinggangku berulang-ulang, terkadang rasa sakit itu menghilang lalu muncul lagi.

      "Minum ya, kamu pasti hauskan?" Aku mengangguk. Rasa mulas itu menghilangkan rasa dahagaku. Mas Dama menyodorkan gelas teh manis yang disiapkan rumah sakit, aku meminumnya seteguk.

      "Kita periksa lagi Bu, kalau sudah lengkap kita keluarkan dedeknya," kata dokter Made yang menangganiku. Beliau masuk bersama perawat  beberapa menit setelah aku kembali merasakan serangan itu.

       "Sudah pak, kita mulai saja. Bapak boleh di sini, temani istrinya. Tanggung jawab ya," godanya pada mas Dama yang disanggupi suamiku.

        "Mas temani ya, kamu pasti bisa. Kamu kuat,"  aku hanya meringis. Kalau gak ingat sakit mau kubalas omongannya, kenapa waktu hamil gak ngomong gitu. Aku dianggap lemah gak boleh kemana-mana. Tapi gak lucu aku ngomel.

      Dengan sigap perawat menyiapkan segala sesuatunya. Dokter memberi arahan apa yang harus kulakukan, mas Dama terus mendampingiku membisikkan semangat ditelingaku. Sampai suara tangisan bayi memecah keheningan hatiku.

     Seperti ada air bak menghambur keluar dari dalam perutku. Lega dan bahagia itu yang kurasakan. Semua berjalan sangat cepat. Dokter dan perawat bekerja cepat membereskan kekacauan yang terjadi.

      Mas Dama mencium keningku lembut. Aku selalu senang mendapat perlakuan lembutnya. Rasa itu semakin hari semakin kuat. Aku mulai mencintainya.

       "Terima kasih sayang, sudah mau berjuang untukku dan anak kita. Mas sayang kamu," bisiknya lirih. Aku hanya bisa mengangguk. Perjuangan ini bukan hanya untuk mereka tapi untuk kami semua.

     "Terima kasih dok," mas Dama menyalami dokter Made yang selama ini sabar melayani kami. Dokter tua itu tertawa cerah. Seorang perawat membawa masuk anakku yang sudah dibersihkan.

      "Puji Tuhan putranya lahir dengan selamat. Kalau mau punya adik buat jagoannya, tunggu dulu. Bapak yang sabar," ledeknya membuat suasana ruanganku penuh tawa. Dokter Made berpamitan untuk kembali melakukan tugas yang lainnya.

                    ***

      Jes kecil berlari mengejar bola di halaman kecil rumah kami, bapaknya mengikuti langkah kecilnya. Sesekali ikut menendang bola itu pelan. Laki-laki kecilku tertawa ketika bola yang ditendang bapaknya mengenai kakinya.  Tawa mereka membuat hidupku lebih berwarna, aku merasa sangat bahagia.

      Jes kembali menendang bolanya kearah bapaknya, bola plastik itu malah mengelinding kearahku yang berdiri di pintu. Aku berjongkok mengambil bola itu. Jagoanku berlari memelukku diikuti bapaknya.

      "I love u, istriku," bisik mas Dama lirih. Dikecupnya keningku singkat. Desir bahagia membelai hatiku. Kuberanikan diri menatapnya.

       "I love u too Mas," jawabku malu-malu. Senyum bahagia mengembang diwajah suamiku. Jantungku berdebar kencang, senyumannya membuatku tersipu. Tanpa kusadari, Aku mulai mencintainya. Cinta yang membuatku sangat bahagia.

      Tanpa permisi mas Dama mencium bibirku lembut. Jes menatap kami bingung.

Kemayoran, 09.25 Wib

31 Juli 2019

       Wis rampung alias tamat

                      ****

Yeayyy... asyik bisa bikin peneror deg2an...

Nulis bagian terakhirnya juga membuatku deg-degan. Panas dingin gegara gak pernah diromantisi suami wkwkwk...

     
      

Aku jatuh cinta lagi (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang