Warning:
Bukan bacaan buat yang dibawah umur.Selamat menempuh hidup baru. Rukun dan bahagia, menua bersama sampai maut memisahkan.
Umumnya doa itu yang diterima pengantin baru agar memasuki kehidupan baru yang lebih bahagia. Gimana gak bahagia hidup dengan orang yang dicintai, berbagi semuanya berdua tidak ada lagi rahasia. Semua terbuka termasuk sifat buruk yang waktu pacaran tidak terlihat karena belum tinggal bersama.
"Mas, baju kotor taruh di keranjang dong jangan digantung begitu. Bau, jorok tahu," teriakku jengkel melihat beberapa baju kotor tergantung di kamar mandi sebagian di pintu kamar tidur.
"Angkatin bisa kan, gak usah pakai marah," sahutnya enteng sambil tetap selonjoran di kasur.
"Kebiasaan buruk jangan dipelihara," aku terus mengomel. Emosiku makin meningkat melihatnya tidak bergerak, asyik dengan tontonan sepak bolanya. Terpaksa aku yang bergerak mengambilnya dan membawanya ke depan untuk mencuci. Di keluargaku, gak ada orang model begini bapak sekali pun. Baju kotor harus dimasukkan ke dalam ember di belakang rumah biar tidak menyebabkan bau dalam rumah, apalagi kamar mandi.
Yang kayak gini gak cuma sekali, pertama kali melihat aku masih diam dan mengatasinya sendirinya. Ketika kejadian itu berulang lagi, aku gak mau diam lagi. Dan keburukan jeleknya gak hanya itu.
"Ya ampun Mas, handuk basah kok ditaruh di kasur! Kasurnya ikut basah dong!"
"Bisa gak sih Mas, matiin lampu setelah keluar kamar mandi?"
"Tutup lagi toplesnya yang bener, krupuknya bisa melempem dan gak bisa dimakan lagi,"
Ternyata setelah hidup berdua, perbedaan itu menjadi semakin nyata. Kerikil-kerikil kecil mulai menghiasi keluarga baruku. Bahan percekcokan yang sangat tidak bermutu karena dua pandangan yang berbeda dan tidak mau berubah. Suamiku tercinta itu tetap saja kekeuh pada kebiasaan buruknya.
"Gak usah emosi, santai aja Sayang," rayunya setiap kali aku ngomel. Tanpa ada perubahan apa pun sampai bulan kedua usia pernikahan kami.
Masih dengan emosi tingkat dewa aku mulai mencuci baju di luar. Laki-laki menyebalkan itu masih asyik di depan tv, tak juga bergerak untuk membereskan rumah. Aku paling gak suka ngepel, jadi dia yang mengerjakan. Hari Sabtu adalah hari bersih-bersih, mulai dari mencuci, beresin rumah biar lebih rapi lalu setrika. Kami berbagi tugas untuk menyelesaikannya.
Selesai mencuci, aku masuk dapur untuk memasak. Kulirik kamar, doi masih menatap menikmati hidupnya. Meski jengkel, aku memilih memasak dalam diam. Pagi-pagi sudah emosi membuat mood ku hilang.
"Masak apa Sayang?" Tanyanya mengagetkanku. Tangannya memeluk pinggangku dari belakang, dagunya ditempelkan diceruk leherku yang menghadirkan sensasi aneh diperutku.
"Mas, jangan begini. Aku mau masak nih!" Elakku geli. Tidak pergi, mas Dama malah bergerak menciumi leherku, membuatku perasaanku semakin kacau.
"Mas, geli ah. Gorenganku gosong ini," protesku keras. Aku mencoba keluar dari pelukannya. Tentunya usahaku gagal, tenaganya jauh lebih kuat dariku. Sekali hentak tubuhku sudah dibalik menghadap padanya. Kedua tangannya memeluk pinggangku erat. Tanpa permisi, dia mulai mencium bibirku.
"Upss mass.. jangan," mas Dama tidak membiarkan aku keluar dari ciuman liarnya. Klik, bunyi kompor gas dimatikan dengan tangan yang masih memelukku. Aku tidak berkutik, akal sehatku mulai hilang. Kuangkat tanganku, kulingkarkan dilehernya. Melihat reaksiku, mas Dama mulai melembutkan ciumannya. Membawaku keluar dari dapur kembali ke kamar.
"Mas, aku mau masak buat sarapan," selaku ketika dia melepas ciumannya.
"Aku lebih butuh kamu daripada sarapan,"sahutnya santai sambil kembali menciumiku. Pagi itu sarapan kami berbeda.
Begitulah akhir emosiku Sabtu pagi ini, Mas Dama berhasil membaliknya menjadi romantisme pagi tak terencana. Laki-laki yang baru dua bulan menjadi suamiku memeluk pinggangku erat, embusan napasnya menerpa kulit leherku. Tubuh kami menyatu tanpa sekat.
Perutku mulai mengeluarkan bunyi-bunyi aneh akibat cacing yang bernyanyi. Aku lapar, jam dinding di kamar menunjukkan pukul 10.44 menit. Sudah cukup siang untuk seseorang yang biasa sarapan pagi.
Aku mengeliat, mencoba keluar dari pelukannya. Mas Dama malah menarikku semakin menempel padanya.
"Mas, sudah siang. Aku lapar mau masak," bisikku lirih.
"Aku masih ingin memelukmu," bisiknya sambil mencium leherku.
"Pelukan gak bisa membuat perut kenyang mas," sungutku keki. Perut sudah dangdutan, dia masih pingin pelukan aja. Emang aku guling yang gak merasakan lapar.
"Gak kenyang tapi enak kan?" Sahutnya nyengir Ampun deh, laki-laki ini semakin hari semakin mesum aja.
"Pikiranmu Mas, mesum muluk!" Sentakku lebih keras berusaha lepas dari kungkungan tangan kekarnya. Perutku sudah lapar beneran.
"Sama istri sendiri masak mesum sih," protesnya sambil tangannya mulai bergerilya. Aku makin gak sabar, antara lapar dan jengkel menguasaiku.
"Mas, sudah dong.. Aku lapar banget," rintihku melas. Gak romantis banget ya? Suami mesra malah istrinya merintih kelaparan. Setengah pasrah, aku membalik menghadapnya. Mas Dama tersenyum lebar.
"Kalau marah kamu makin cantik. I love u," dicium bibirku singkat. Aku diam, malas bereaksi.
"Mandi yuk, gak usah masak kita makan diluar saja," ajaknya mengakhiri aksi diamku. Dengan cekatan, laki-laki itu menggendongku masuk ke kamar mandi.
***
Stasiun Kramat, 27 Juli 2019
***
Aduh, pagi-pagi belum sarapan sudah aneh-aneh nih...
Gak papa kan sudah suami istri..
Maaf ya yang belum nikah, jangan baper..
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku jatuh cinta lagi (Lengkap)
Chick-LitCinta? Apakah itu cinta? Semua hanya kebohongan belaka Cinta hanya kata tanpa makna bagiku yang berulang kali dikhianati..terlalu banyak kebohongan yang membuat Cinta musnah tanpa rasa. Bagiku cinta tak penting lagi.. tak penting juga menjadi dasar...