Ungkapan rasa (2)

1.9K 116 1
                                    

      Kami tenggelam dalam ciuman panjang yang membuatku hilang akal. Mas Dama memperlakukanku sangat lembut, sangat berbeda dengan ciuman kasarnya waktu itu. Ciuman yang membuatku marah, merasa terhina. Sebelum semakin terlena dalam kenikmatan yang belum seharusnya kami reguk, kudorong tubuh mas Dama yang menghimpitku. Kujauhkan tubuhku dari jangkaunya, menghindari sentuhan fisik yang mungkin akan membuatku kembali kehilangan akal sehat. Napasku masih tersenggal, mas Dama menatapku bingung.

       "Kenapa sayang?" Tanyanya parau. Matanya masih menampakan hasrat yang terhempas.

      "Mas yang kenapa?" Jawabku ketus.

     "Baru juga bermesraan sudah marah lagi. Bisa gak sih, gak usah marah-marah terus!" Keluhnya dengan wajah menggoda. Tubuhnya beringsut mendekatiku, memeluk pinggangku posesif.

       "Mas, lepas deh! Kita harus bicara serius," Laki-laki itu malah meletakkan kepalanya di pundakku. 

       "Mas kangen Sayang, dua hari saja gak ketemu Mas mu jadi sakit nih!"

       "Gombal! Sakit mah sakit aja, gak ada hubungannya dengan kangen," sahutku cemberut.

       "Kalau masih cemberut, Mas cium lagi nih," ancamnya gak mutu, gak mempan untukku. Dengan gerakan cepat mas Dama mencium pipiku. Kutatap tajam wajah yang senyum-senyum menjengkelkan didepanku.

       "Mas, biasa ya bermesraan sama Ninda?" Tanyaku tak sopan. Seketika wajahnya berubah.

       "Apa hubungannya dengan dia?" Tanyanya marah. Aku tahu pertanyaan tentang Ninda selalu membuat emosinya naik. Kalau marah berarti benar, kesimpulan aneh.

       "Kalau marah berarti benar dong!" Kataku lagi yang membuat mukanya merah.

       "Yakin pingin tahu?"

       "Tanpa Mas ngomong aku juga sudah tahu. Laki-laki jaman sekarang mana ada yang tahan begituan," Aku kok makin bebal ya? Akal sehatku benar-benar sudah mati. Mas Dama menghela napas panjang.

       "Maaf, Aku bukan laki-laki suci yang bisa menahan napsu. Aku pernah melakukannya," Penjelasan jujur mas Dama tak urung membuatku sakit hati juga.

       "Pernah atau sering?"

       "Beda ya, intinya sama pernah," katanya ngotot.  Aku mulai kehabisan kata-kata, terdiam bersandar di sofa. Diamku membuat mas Dama mengambil inisiatif.

       "Maafkan Mas Sayang, bukan maksudku membuatmu marah. Kamu benar, Mas sudah melakukan kesalahan. Tapi itu masa lalu, gak mungkin dirubah lagi. Mas mau memulai yang baru dengan Kamu," Laki-laki itu memegang tanganku erat, mencium punggung tanganku hangat.
 
      Aku terkesima, sejak kapan laki-laki ini menjadi pandai bicara? Kata-katanya tertata rapi seperti ahli bahasa Indonesia, gak biasanya.  Hatiku tersentuh oleh semua yang dikatakannya, pernyataan yang menyadarkanku semua orang punya salah dan masa lalunya.

       Aku juga pernah melakukan kesalahan, berulang kali aku salah memilih laki-laki yang layak untuk hidupku. Membuat kuatir keluargaku dengan apa yang sudah kulakukan. Mempermalukan Tuhan yang aku sembah, mempertanyakan kesetiaanNya karena satu kata "cinta". Nyatanya semuanya imitasi, bohong belaka.

      "Sayang, kok malah diam? Maafkan Mas ya," bisiknya lirih. Aku mengangguk.

      "Kita jadi pulang hari ini?" Tanyaku mengalihkan pembicaraan.

      "Nanti sore kan? Mas pulang dulu, ambil baju,"

      "Terserah," Aku mendengkus kesal. Kebiasaan tidak rapinya membuatku kembali jengkel.

      "Kamu kalau marah makin cantik deh," katanya menggoda. Aku langsung berdiri ketika tangan kekarnya memelukku lagi.

     "Kok malah pergi? Aby Sayang, mau kemana?" Tanyanya sambil membuntutiku. Aku terus berjalan masuk kamar.  Kututup pintu kasar tepat di depan matanya.

      "Sayang, keluar dong. Katanya kita mau bicara, serius Mas gak akan bergurau lagi," suaranya terdengar lelah. Aku juga lelah menghadapi sikapnya yang seenaknya, selalu tanpa persiapan.

       "Mas pulang saja. Aku juga bisa pulang sendiri," sahutku ketus.

      "Kok gitu?"

      "Kita batal nikah aja deh, capek aku,"

     "Lho kok gitu, buka pintu By. Jangan ngomong seenaknya gitu deh,"

     "Seenaknya apa? Mas yang seenaknya!" Semburku marah di depan pintu. Mas Dama kaget, mungkin tak menyangka aku membuka pintu dengan cepat. Dengan cepat wajahnya tersenyum.

      "Mas sakit kamu rawat, baru saja sembuh Kamu marah-marah terus. Kenapa harus ngomong membatalkan pernikahan segala. Kita duduk dan bicara baik-baik ya?" Pintanya lembut. Tanganku digandengnya, dibawa kembali duduk di ruang tamu.

Bekasi, 11072019
                ***

Maaf  molor, nulis satu part ini dua hari gak kelar-kelar. Selaib karena lagi banyak pekerjaan, fisik juga lagi gak bagus. Doakan tubuh saya segera membaik ya... ada banyak pr yang harus dikerjakan.

Oya, selamat ulang tahun mbakku tercinta. Sehat terus ya... kami menyayangimu selalu..
Maaf typo...

Salam

Aku jatuh cinta lagi (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang