Menanti

2.4K 122 0
                                    

Enam bulan kemudian setelah menikah...

      "Mas, kayaknya aku telat deh," Mas Dama yang sedang asyik nonton balap motor GP menoleh.

     "Telat kenapa, bukankah tadi pagi kita sampai di kantormu masih pagi banget," sahutnya gak nyambung.

     "Bukan telat itu. Kalau diajak ngomong bisa lihat aku gak?" Kataku sewot. Emang enak ngomong dicueki.

      "Ooo, telat itu," bibirnya langsung moncong.

      "Gak lucu," Mas Dama tertawa ngakak, dipeluknya aku erat.

      "Telat berapa hari?" Tanyanya pelan.

      "Seminggu," sahutku antusias. Aku berharap menerima anugerah kebahagiaan segera mendapat momongan. Lagi-lagi mumpung usia masih memungkinkan.

      "Sabar, tunggu seminggu lagi baru ditest ya. Kalau rejeki pasti datang," Dikecupnya puncak kepalaku lembut.

       Jawaban lembut itu tak serta merta membuat hatiku ayem, malah sebaliknya. Obrolan tentang anak selalu ditanggapinya dengan enteng, terkadang tanpa ekspresi. Mungkinkah dia tidak menginginkan seorang anak dariku? Bukankah dia nenyukai anak-anak? Hubungan mas Dama dengan keponakannya sangat dekat, aku suka caranya berinteraksi dengan mereka. Ngemong dan natural, tidak dibuat-buat.

      "Jangan dipikir terlalu berat. Ada anak atau tidak, mas tetap sayang sama kamu. Mungkin belum waktunya buat kita," hiburnya dua hari kemudian ketika aku menangis kecewa karena tamu tak diundang datang.

       "Umurku semakin tua mas?"sahutku terisak. Pelukannya terasa semakin erat, kepalaku disandarkan ke dadanya. Perlahan rambutku dibelai lembut, diciuninya puncak kepalaku berulang-ulang.

       "Sayang, mas tahu kamu sudah menginginkan kehadiran anak dalam keluarga kita. Maa tahu itu. Mas mohon, jangan dijadikan beban. Kamu perjanjian kita sebelum menikah?" Aku mengangguk dalam pelukannya. Aku mengingatnya, anak bukan tujuan utama pernikahan kami. Kalau memang gak dapat, bisa ambil anak orang, begitu dulu prinsip kami. Namun sebagai perempuan, aku berharap bisa memiliki anak sendiri.

     "Mas, gak mau punya anak dariku?" Tanyaku curiga.

     "Lha kok jadi begitu? Tentu saja Mas mau punya anak dari kamu, kan kamu istriku,"

      "Kalau aku gak punya anak beneran, Mas mau cari istri lagi?" Kejarku semakin tidak terkontrol.

      "Emang boleh?" Tanyanya santai.

       "Boleh aja, sekarang juga boleh. Tapi kita cerai dulu," sahutku emosi.

       "Makanya jangan mancing-mancing. Maunya diikuti marah," godanya tak tahu diri. Diciuminya leherku dengan liar, sensari aneh itu datang lagi. Aku mengeliat menghindari ciumannya.

       Dua bulan terakhir, aku mulai merasakan sesuatu. Perlakuan lembutnya dan perhatian perhatian kecilnya membuatku mulai melihatnya dengan cara berbeda. Aku mulai merasakan cemburu bahkan dengan acaea televisi yang ditontonnya.

       "Jangan jauh-jauh, Mas mau dekat sama kamu," laki-laki itu kembali membawaku kedalam pelukannya.

       "Kalau aku gak bisa punya anak, apa mas masih mencintaiku?" Mas Dama menghela napas panjang, udara panas menerpa kulit leherku. aku tahu dia mulai gak suka dengan pembicaraan ini. Sebenarnya aku juga gak suka, entah kenapa otakku masih ingin melakukannya.

        Tanpa bicara, pelukannya dilepaskan. Mas Dama beranjak dari tempat tidur, lalu keluar kamar.

       "Mas, kok malah keluar!" Aku berteriak mengejarnya ke dapur. Dia mengambil air minum langsung diteguknya sampai habis.

      "Ngomonganmu makin melantur. Mas males berantem," katanya sambil lalu. Diabaikannya aku yang berdiri di pintu dapur, dia kembali masuk kamar.

     Seperti anak kecil kehilangan mainannya, aku  menangis histeris. Aku marah diabaikan, aku juga kecewa dengan diriku sendiri. Sementara mas Dama bergeming dengan posisinya, menatap lurus ke depan, entah apa yang dipikirkannya.

Kemayoran, 29 Juli 2019

                      ***

Yes..yes..yes...
Update pagi2...
Entar pulang update lagi ah..

Gemes gak sih sama Aby...
Maklumi ya kan lagi PMS, hahahha



     

Aku jatuh cinta lagi (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang