15 | 🥀 Cemburu? Mustahil! ⚘

365 34 25
                                    

Masih meratapi nasibnya, Nata menekuk wajah dengan tangan bersilang di depan dada. Mulutnya komat-kamit merapalkan hujatan dan segala macam makian pada Megan. Saking fokusnya Nata menatap kepergian mobil yang ditumpangi Kakaknya, dia sampai tak sadar jika Bima kini berdiri tepat di sebelahnya.

"Mending obatin gue ketimbang bengong begini."

Tersentak, Nata pun menoleh. Matanya bertubrukan dengan manik hitam Bima, sejenak dia terpesona, Nata mengakui itu. Tak mau jatuh terlalu dalam, buru-buru Nata beralih menatap wajah Bima yang dipenuhi luka lebam. Entah sadar atau tidak, tangan Nata terulur menyentuh pipi bagian kiri Bima. Nata meringis, pastilah Bima merasakan sakit dan nyeri bersamaan.

"Diobatin, jangan cuman di pegang doang. Sakit kali!" Suara Bima mengembalikan kewarasan otak Nata. Menarik kembali tangannya, Nata menunduk sambil menggaruk tengkuk. Haduh, kenapa dia bodoh sekali.

Malu Nata, tuh!

Dasar tangan lancang! Ingin sekali Nata memaki tangannya saat ini. Sungguh reflek yang memalukan, kalau begini mau ditaruh mana muka Nata. Mendadak jadi canggung, kan? Hell, kemana Nata yang berani, bar-bar, dan tak tahu diri. Bantu Nata mencari koran untuk menutupi mukanya. Ehh, jangan deng! Nanti dikira Nata mati lagi. Oke, bantu Nata cari se-ember air saja, biar dia bisa merendam wajahnya yang memerah ini untuk membuang malunya.

"Obatin gih, Nat! Gak kasian lo, liat gue kek gini?" Menampilkan raut semelas mungkin, suara Bima terdengar merengek di telinga Nata.

Mumpung rasa kemanusiaan-nya masih tinggi, Nata mencoba membuang ingatan kejadian memalukan beberapa menit yang lalu. Beralih menatap Bima, Nata berniat membantu mengobati luka lelaki itu.

Tarik napas, buang. Huft ....

"Iya, oke! Lo duduk di sana dulu. Gue beli obatnya bentar." Sudut bibir Bima berkedut, lelaki itu terlihat menahan senyuman.

Menuruti perintah Nata, Bima melangkah menuju kursi taman yang ditunjuk gadis itu tadi. Sekali-kali menurut pada gebetan nggak dosa, kan?

Si cantik melangkah santai menuju warung yang berada tak jauh dari area taman. Cuma obat merah, kapas, dan dan es batu mah di sana juga banyak, begitu pikir Nata. Kenapa juga dia harus repot-repot ke apotek? Toh hanya Bima, masih untung dia mau membantu, kan?

Menoleh ke kanan dan kiri tak kunjung menemukan batang hidung Nata, pikiran Bima sudah bercabang kemana-mana. Nata niat atau tidak sih membantu dirinya? Kenapa lama sekali? Sudah dua puluh menit Bima menunggu. Apa jangan-jangan perempuan itu berniat mengerjai dirinya?

Belum sepenuhnya prasangka di dalam otak Si tampan tersalurkan, mata Bima lebih dulu menangkap sosok yang dia tunggu-tunggu.

Dasar, betina lamban!

"Lama banget, sih!" Protesnya langsung dengan mata menyorot kesal.

Baru juga sampai, Nata sudah mendapat semprot saja. Dasar lelaki tak tahu terimakasih! Masih mending Nata mau membantunya. Memilih duduk di samping Bima, Nata mulai mulai membuka obat merah di genggamannya. "Gue tuh jalan kaki, wajar kali kalau lama! Masih mending gue mau bantuin."

Merasa Nata tampak setengah hati membantu dirinya, Bima merasakan kesal bergemuruh di dadanya. Entah angin apa yang membuat Bima tiba-tiba sensitif begini. PMS? Big no!

"Jadi gak ikhlas, nih? Kalo gitu mending nggak usah deh." Tangan Nata baru terangkat sedikit, bahkan belum sempat menyentuh luka Bima, namun lelaki itu lebih dulu menepisnya kasar.

Seakan sepasang tanduk merah bak iblis muncul di kepalanya, Nata naik pitam. "Lo tuh gak ngehargain gue banget, sih! Udah gue beliin obat jauh-jauh, terus seenak jidat, lo mau nolak gitu aja? Lo pikir gue gak capek jalan kaki?!"

Because I Love You (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang