14

2.4K 446 12
                                    


“gue bilang gak, ya gak!” tolak Yewon kesal.

“lo tuh!!” seru Mia tertahan. “bisa gak sih sekali aja mikirin anak lo, Won?!”

“justru karena gue mikirin anak gue ini gue bilang gak mau dan gak akan pernah mau, Mi!” teriak Yewon.

Mia menangkup wajahnya. Benar-benar merasa frustasi karena tidak tahu lagi jalan apa yang harus ia lakukan agar Yewon setidaknya mau memikirkan sarannya.

“Won, perut lo tuh udah gede. Udah 5 bulan, nunggu 9 bulan tuh gak bakal berasa. Lo gak mikirin apa gimana nasib anak lo ntar?! Kalo orang ngasih tau tuh jangan batu, Won. Dengerin!” seru Mia. Ia sudah kepalang kesal sekarang.

“udahlah gue males debat. Mending lo pulang. Udah malem!” usir Yewon sambil berjalan membuka pintu depan. Mengusir Mia yang sedari tidak bergerak sama sekali dari tempatnya berdiri.

Tidak percaya bahwa Yewon baru saja mengusirnya.

“pergi!” seru Yewon lagi tanpa melihat kearah Mia yang kini sedang menatapnya.

“gue capek, mending lo—”

“IYA!” sahut Mia kesal sambil menarik tasnya dan berjalan melewati Yewon tanpa berniat melihatnya sedikit saja.

Setelah menutup pintu Yewon memijit kepalanya yang terasa berat.

Bagaimana bisa ia menjalani hidupnya yang semakin hari semakin berat.

Perutnya sudah mulai besar, tidak punya pekerjaan, uang simpanan sudah menipis, lalu Mia dengan kepala besarnya memaksa Yewon untuk menuruti semua omong kosongnya.

Apa yang sudah terjadi? Apakah Yewon salah jika memilih jalannya sendiri? Seburuk dan serendah itukah Yewon sampai-sampai Mia menyaran hal seperti itu.

Yewon sadar diri bahwa ia memang tidak mungkin membesarkan anaknya ini sendiri kelak. Selain semua kebutuhannya pasti tidak tercukupi karena mencari pekerjaan tetap tidak semudah yang ia bayangkan, juga karena anaknya tidak mungkin lahir dan tumbuh tanpa seorang ayah yang sah saat besar nanti.

Tentu saja Yewon sudah memikirkan hal itu, anaknya tentu saja harus sekolah, dan sekolah tentu saja membutuhkan akte kelahiran dan tetek bengek lainnya.

Tapi itu tidak berarti Yewon mengharapkan belas kasihan akan hal itu dan minta dinikahi oleh orang yang sama sekali tidak dikenalnya.

Itu terlalu jauh. Tidak masuk akal dan Yewon tidak bisa melakukannya.

Yewon tidak bisa.

———

“lo serius mau ambil jalan ini?” tanya Seungwoo.

Jinhyuk mengangguk mantap sambil meminum kopinya.

“ayah udah sakit keras, bangun buat duduk aja udah susah banget. Gue gak maua tiba-tiba kehilangan dia pas gue belum nepatin janji gue buat nurutin permintaan terakhirnya” jelas Jinhyuk. Rasa sedih terus merayap didalam tubuh Jinhyuk jika mengingat keadaan ayahnya sekarang.

Ia tidak bisa menunda harapan terakhir ayahnya lagi karena kapan saja ayahnya bisa pergi untuk selamanya.

“tolong terus urus perusahaan ayah sampe gue bisa bener-bener balik ngurus lagi ya, kak. Yewon perutnya udah gede sekarang, sering kecapek'an sampe kadang pingsan beberapa kali sehari, gue kayanya harus stay dideket dia terus biar tau kondisi dia” pinta Jinhyuk. Matanya menatap pria dihadapannya itu penuh harap.

Tentu saja. Siapa lagi yang bisa Jinhyuk harapkan jika bukan orang ini. Orang yang sudah bertahun-tahun bersamanya. Merawat ayah sekaligus perusahaan mereka bertahun-tahun lamanya. Bahkan Jinhyuk sudah menganggapnya seperti saudara laki-lakinya karena terlalu seringnya ia membantu dan mengurus semua hal.

“semuanya aman dan lo tenang aja. Fokus aja sama Yewon” ujar Seungwoo menepuk pundak Jinhyuk pelan.

Bahkan perihal Yewon, Seungwoo sudah mengetahui semuanya dari awal karena Jinhyuk hanya bisa menceritakan dan mencari solusi kepada Seungwoo.

“ngomong-ngomong, apa lo gak mikir buat tinggal deket sama rumah Yewon aja, biar gak susah bolak-balik” saran Seungwoo.

“udah. Gue sebenernya udah beli rumah deket situ, tapi masih jauhan sama kontrakannya Yewon. Ada satu lagi sih kontrakan yang kosong, cuman apa gak keliatan banget kalo gue lagi mantau dia soalnya cuman seberangan doang” sahut Jinhyuk.

“langsung ajak nikah aja dia gak mau?”

“kak, boro-boro mau ngajak nikah ngobrol aja ketemuan hadep-hadepan kita belom pernah”

Seungwoo mengangguk paham. Serumit ini memang masalah yang sedang dijalani oleh Jinhyuk.

“gue sih rencananya mau langsung ngajak nikah aja. Lo belom liat aja perutnya udah keliatan banget kak. Bahaya kalo dia sendirian mah, apalagi Yewon tuh ceroboh banget orangnya, tapi takut dia kaget dan malah nolak dan jadinya gak mau ketemu gue lagi gimana?” ujar Jinhyuk yang terdengar frustasi. Rasanya, ia sudah kehabisan cara untuk mendekati Yewon.

Apakah selama ini caranya terlalu bertele-tele sampai-sampai saat ini Jinhyuk tidak melihat sama sekali celah dari sebuah kesempatan yang datang?

“sebucin itu lo sama Yewon ya?” tanya Seungwoo disertai tawanya yang keluar.

Sebelumnya, Seungwoo belum pernah sama sekali melihat sisi Jinhyuk yang seperti ini.

Senang rasanya melihat sisi yang baru dari seorang Lee Jinhyuk yang dulu bahkan untuk tersenyum pada perempuan saja sangat berat. Tapi Seungwoo juga takut jika ini gagal akan membawa sisi yang lebih buruk untuk Jinhyuk dimasa depan.

“gue gatau juga, kak. Pas kenal Yewon tuh rasanya kaya kecanduan, ngerti gak? Pengen kenal dia lagi dan lagi, lebih dalam, lebih jauh lagi, kaya ada sesuatu dari diri Yewon yang bener-bener narik perhatian gue buat ngelakuin semuanya demi dia”












“kak Wooseok please!!!” seru gadis itu sambil menangis dan berlutut didepan Wooseok.

“gak bisa, gue gak bisa!” tolak Wooseok. “Gi, please. Bisa gak lo berhenti kaya gini, gue beneran gak bisa”

“kak! Lo mau gue pergi?”

Pregnancy: Lee Jinhyuk✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang