Garis Terdepan - Fiersa Besari
Terjebak di dalam suatu permasalahan membuat Anneth merasa selalu tertekan. Ia butuh ketenangan jiwa agar tetap tegar menghadapi semuanya. Ketika ia merasa mulai kehilangan ambisi, maka disitulah ia mencoba mencari kobaran semangat lagi.
Anneth memang bukan gadis yang terbuka dengan orang-orang terdekatnya. Mungkin ia pernah bercerita tentang kehidupannya, tetapi itu hanya sekedar berbagi. Ia tak pernah menceritakan semuanya secara mendalam. Baginya, masalah yang ia alami bukan untuk orang lain ketahui.
Cuaca di sore hari ini terlihat sangat bersahabat dengan kondisi Anneth yang sekarang. Mendung. Langit biru sudah dipenuhi oleh awan-awan yang menggantung bebas di atas sana. Bila nantinya hujan turun, cocok sudah dengan suasana hati Anneth.
Di atas gedung tinggi, tepatnya di rooftop lah kini Anneth berada. Gadis itu duduk di bawah tanpa beralaskan apapun. Kedua kakinya ia tekuk lalu ia dekap di depan dadanya. Matanya tertuju ke bawah, pada kendaraan-kendaraan yang sedang berlalu lalang di jalan raya. Bulir-bulir cairan bening masih senantiasa menetes hingga mengalir di kedua pipinya. Sebuah tangisan tanpa suara tetapi rasanya amat sangat menyakitkan. Tangisan ini tak mampu ia bendung dengan sisa kekuatan yang ia punya. Semua pertahanannya sudah runtuh. Bagaikan sebuah batu bata yang tersusun rapi lalu di hantam oleh batuan besar lainnya hingga runtuh dan hancur tak tersisa. Dirinya sudah kalah.
"Tuhan! Gua ini lemah. Tapi kenapa cobaan selalu menghampiri makhluk mu ini."
Merasa hatinya semakin sakit seperti tersayat oleh pisau tajam, Anneth mencoba memejamkan kedua matanya perlahan. Walaupun sebenarnya cara itu tak mampu menghentikan tangisnya. Air matanya sulit untuk berhenti mengalir, bibirnya masih gemetar, wajahnya memerah. Di angkatnya kedua tangan yang sudah lemas itu hingga telapak tangannya menutupi sebagian wajahnya. Ia terisak-isak kala mengingat perkataan ibunya yang terus terngiang-ngiang di telinganya.
Mama malu punya anak seperti kamu.
Mama menyesal karena telah melahirkan kamu.
Kamu ini nggak sepantasnya di sebut sebagai seorang anak.
Telinganya sudah panas mendengar bentakan-bentakan itu. Bentakan yang masih membayang-bayangi pikirannya, masih terngiang-ngiang di telinganya, dan masih teringat di otaknya.
Kedua tangannya berpindah ke rambut panjangnya. Di jambaknya dengan sisa tenaga yang ia punya hingga ia merasakan nyeri di bagian kepala.
"Lo nggak berguna, Neth!"
"Lo malu-maluin!"
"Lo nggak di terima di dunia ini."
Anneth terus meracau tidak jelas. Pikirannya benar-benar kalut. Tidak ada yang bisa ia lakukan lagi selain menangis dan meracau. Saat ini ia sedang dalam keadaan jatuh sejatuh-jatuhnya.
Kedua mata indah itu perlahan ia buka. Matanya sudah merah karena air mata yang terus berlinang di sana. Ia memandangi objek yang kini berada jauh di bawah, jalan raya yang sangat ramai dan bising. Kedua tangannya mencoba menyeka cairan demi cairan yang keluar dari matanya. Tetapi usahanya sia-sia. Tangisannya malah semakin menjadi-jadi. Anneth benar-benar rapuh.
"JANGAN BUNUH DIRI, MASIH BANYAK YANG SAYANG SAMA ELO!"
Teriakan seorang lelaki yang terdengar dari belakang kini mulai menggema di tempat itu. Tersirat kekhawatiran pada nada bicaranya. Tetapi Anneth tidak sama sekali menoleh, ia tau siapa lelaki yang berteriak barusan.

KAMU SEDANG MEMBACA
THE DEEPEST
Teen FictionPernah merasa terganggu karena kedatangan seseorang? Yang membuatmu tidak bisa hidup damai seperti sebelumnya. Seperti yang di rasakan oleh gadis yang satu ini. Anneth Elvarette. Si pendiam dan tertutup. Namun siapa sangka ternyata cowok yang di cap...