Anneth baru saja menduduki sofa dan mengambil posisi di sebelah Deven. Membawa kotak P3K. Anneth sedikit tidak tenang melihat kondisi Deven sekarang. Lelaki itu ngos-ngosan. Kesakitan. Memang tidak terlihat separah Clinton tetapi Anneth yakin, pasti rasanya sakit sekali.
"Sini coba lihat," desak Anneth dengan nada sedikit jengkel. Ia tidak mau menunjukkan bahwa ia khawatir. Padahal sebenarnya sangat-sangat khawatir.
Badannya ia condongkan lebih dekat dengan Deven. Sejenak Anneth mengamati luka-luka itu. Lalu kembali merogoh kotak P3K di pangkuannya. Anneth mengambil beberapa obat di dalam kotak itu.
"Mending lo pulang, terus datang ke tempat bang Fandy. Gua nggak mau lo sampe telat," sela Deven sambil terus memerhatikan Anneth yang sedang sibuk sendiri dengan kotak di pangkuannya.
"Sekarang lo dulu," ujar Anneth tanpa menoleh. Tetapi terdengar tulus.
Tidak bisa di pungkiri, Deven senang mendengarnya. Ada lengkungan kecil di bibir lelaki itu. Jarang sekali Anneth perhatian seperti ini kepadanya. Tetapi sekali nya perhatian, Deven jadi baper sendiri.
Pandangan Anneth beralih ke wajah Deven. Lalu menggeser posisinya mendekati Deven. Anneth mencondongkan tubuhnya hingga wajahnya berdekatan dengan wajah Deven. Perlahan ia mengobati luka lebam yang membekas di area itu. Dari sorot matanya terlihat serius memperhatikan ke objeknya.
Deven tercekat. Lelaki itu menahan napasnya. Sementara dadanya bergemuruh. Jantungnya berpacu lebih cepat. Memerhatikan Anneth sedekat membuatnya bingung harus senang atau harus pingsan. Paras cantik Anneth memang tidak main-main. Sudah tidak terhitung berapa kali Deven jatuh cinta kepada gadis itu.
"Gua nggak suka liat orang berantem," mulai Anneth. Wajahnya terlihat serius. Seperti sedang mengomeli seorang anak kecil yang nakal.
Bahkan hembusan napas Anneth bisa Deven rasakan. Namun yang di lakukan Deven justru hanya diam. Ia seperti patung yang sedang di ukir oleh seorang seniman. Ya jika di misalkan. Anneth senimannya, Deven patungnya.
"Apalagi kalau berantem sesama sahabat," ucap Anneth lagi. Ada kekhawatiran yang begitu kentara di wajahnya.
"Iya sorry," ucap Deven kikuk. Hanya itu yang berhasil Deven keluarkan dari mulutnya. Saat ini Anneth berhasil membungkamnya. Rasanya ingin setiap saat memandangi wajah Anneth dengan jarak sedekat ini.
"Nggak perlu minta maaf. Bukan lo yang salah," bantah Anneth. Sempat melirik Deven, lalu kembali terfokus dengan kegiatannya.
"Neth." Deven berucap pelan. Seperti berbisik. Deven yakin Anneth pasti akan mendengar walaupun suaranya pelan.
"Hm?" gumam Anneth tanpa mengalihkan pandangannya.
Deven suka suara Anneth. Bukan, bukan hanya suara. Orangnya juga.
"Makasih," ucap Deven menatap Anneth dalam-dalam. Tangannya mendingin hanya karena memerhatikan Anneth.
"Ya," singkat Anneth.
"Seberapa khawatir lo sama gua?" Pertanyaan terbodoh yang pernah Deven berikan.
"Gua cuma ngelakuin hal yang seharusnya gua lakuin," jawab Anneth tenang.
Telak. Jadi Anneth seperti ini bukan karena dia benar-benar perhatian? Bukan dari hatinya? Entah kenapa Deven berpikir seperti itu. Tetapi Deven tetap senang, karena setidaknya Anneth peduli dengan apa yang ia alami.
"Apa lo kecewa sama gua?" tanya Deven lagi. Kali ini nada bicaranya terdengar lebih berhati-hati.
"Kecewa sama kalian berdua," ungkapnya, dingin."Gua nggak suka cara kalian yang begitu. Nggak ada salahnya kok kalo kalian berdua mencintai orang yang sama. Asal cara kalian bersaing itu benar. Bukan malah berantem. Justru dengan kalian yang berantem begini, bukannya bikin gua bangga. Malahan bikin gua kecewa."
KAMU SEDANG MEMBACA
THE DEEPEST
Teen FictionPernah merasa terganggu karena kedatangan seseorang? Yang membuatmu tidak bisa hidup damai seperti sebelumnya. Seperti yang di rasakan oleh gadis yang satu ini. Anneth Elvarette. Si pendiam dan tertutup. Namun siapa sangka ternyata cowok yang di cap...