Rumit - Langit Sore
Seorang pria yang rapi dengan kemejanya sedang berjalan cepat sambil menyeret kopernya menuju ke ruang tengah. Pria itu tampak terburu-buru sampai-sampai mempercepat langkah kakinya.
"Loh, papa mau kemana?" tanya Joa sambil mengoleskan selai kacang ke permukaan roti tawarnya.
Pria itu mendekati meja makan."Papa minta maaf ya, nak. Pagi ini papa harus berangkat ke luar kota karena ada pekerjaan di sana. Kalian jaga diri baik-baik ya," kata pria itu.
"Papa enggak mau sarapan dulu?" tanya Anneth.
"Enggak sempat, Neth. Jadwal penerbangannya jam 8, jadi mau nggak mau papa harus berangkat sekarang," jawab pria itu yang kini tengah sibuk dengan ponselnya.
"Papa berapa lama di sana?" Giliran Joa yang bertanya.
"Papa juga enggak tahu, Jo. Ya udah papa enggak punya banyak waktu lagi. Kalian hati-hati ya berangkat ke sekolahnya. Jangan lupa saling menjaga satu sama lain. Maaf sekarang papa nggak bisa meluangkan waktu untuk kalian, tapi suatu saat nanti kita pasti akan kumpul bareng."
Anneth tersenyum singkat."Iya pa, hati-hati ya pa. Baik-baik di sana. Jangan lama-lama karena Anneth sama Joa pasti bakal rindu sama papa. Sesibuk-sibuk nya papa, jangan pernah lupa istirahat dan makan yang teratur," katanya kepada Rahman.
Seperti ada benda tajam yang mengikis hati Rahman. Perkataan dari putri sulungnya begitu menohok hatinya. Rahman mendekati Anneth dan juga Joa. Secara bergantian, ia mencium kening keduanya.
"Maafin papa ya. Papa belum bisa jadi papa yang terbaik untuk kalian. Tapi percayalah papa melakukan ini semua adalah untuk kalian," lirih Rahman.
"Anneth ngerti kok, pa." Anneth menyahuti.
"Ya udah, papa berangkat dulu ya," pamit Rahman sembari tersenyum singkat.
"Iya pa," kata Anneth.
"Oh iya, nanti malam bilang ke mama kamu kalau papa udah berangkat. Karena papa tadi udah coba telepon mama kamu tapi nggak di angkat, di WhatsApp juga nggak di balas. Pasti dia sibuk."
"Iya pa, nanti biar Joa sampaikan ke mama," sahut Joa.
Rahman bersiap menyeret koper cokelatnya. Dengan perasaan yang berat, ia melambaikan tangan kanannya ke arah putrinya. Kemudian ia berlalu dari tempat itu.
"Kenapa mereka rela mengorbankan kebahagiaan demi pekerjaan?" tanya Joa. Kepalanya tertunduk menatap roti tawar yang berada di atas piring.
"Kita bakal bahagia pada masanya. Mereka juga pengin ngumpul bareng tapi apa lo sadar mereka mati-matian kerja demi kita? Sampai-sampai mereka lupa makan, kurang istirahat, dan mengorbankan waktunya." Anneth memaparkan beberapa hal.
Anneth bisa berbicara seperti itu karena perkataan Deven tempo hari yang berhasil menguatkannya. Deven yang memberinya keyakinan bahwa sebenarnya kedua orang tuanya amat sangat menyayanginya tapi dengan cara mereka sendiri.
Joa mendongak menatap kakaknya."Ini berlebihan, Neth. Lo tahu kan sesuatu yang berlebihan itu nggak baik?" tanyanya yang sudah mulai tersulut emosi.
"Tanpa lo sadari, ini adalah cara mereka menunjukkan kasih sayang mereka," kata Anneth.
"Maksud lo, mereka menunjukkan kasih sayang dengan cara memproritaskan pekerjaan, gitu?" tanya Joa dengan nada yang terdengar sinis.
"Jo, please. Jangan kayak anak kecil. Cobalah berpikir lebih dewasa," pinta Anneth.
"Sayangnya gua bukan elo yang bisa tetap tegar walaupun sebenarnya kondisi hati sedang rapuh." Joa membalas.
Anneth menghela napas."Selesaikan masalah ini sekarang, gua nggak mau masalah ini berlanjut merambat kemana-mana. Lo boleh marah, kesel, jengkel tapi cukup sehari aja. Jangan bikin mama sama papa tambah stress."

KAMU SEDANG MEMBACA
THE DEEPEST
Fiksi RemajaPernah merasa terganggu karena kedatangan seseorang? Yang membuatmu tidak bisa hidup damai seperti sebelumnya. Seperti yang di rasakan oleh gadis yang satu ini. Anneth Elvarette. Si pendiam dan tertutup. Namun siapa sangka ternyata cowok yang di cap...