10. Kesempatan Besar

1.6K 164 25
                                    

A Millions Dream - The Greatest Snowman

Semenjak kejadian kemarin, Anneth menjadi lebih percaya diri dengan bakatnya. Beberapa kali ia mencoba menepis rasa pesimisnya. Sepertinya kedatangan Deven memberi pengaruh positif bagi karir Anneth untuk kedepannya.

Kini Anneth sedang berada di perpustakaan-tempat yang biasa ia kunjungi. Yang di lakukan oleh gadis itu tak lain adalah membaca novel. Kebiasaan ini tidak dapat ia tinggalkan sejak dini. Stok novel yang berada di rak buku di kamarnya sudah seabrek dan lengkap.

Sebuah tangan hangat menepuk pundak kanannya. Anneth kira itu adalah tangan Clinton, ia langsung memberontak sambil mengumpat.

"Paan sih! Udah gua bilang gua enggak mau sama lo, masih aja nyamperin gua. Gua lagi sibuk, enggak usah gangguin gua." Anneth mengomeli lelaki di belakangnya.

"Sorry kalau gua menganggu elo," ujar lelaki itu.

Anneth lantas menoleh."Eh ... Deven." Anneth gelagapan melihat kehadiran Deven.

"Iya ini gua, lo pikir siapa?"

"Gua pikir lo tadi Clinton."

Deven hanya manggut-manggut.

"Lo ngapain ke sini?" tanya Anneth berhati-hati. Sungguh ia merasa bersalah karena sempat membentak Deven.

"Tadinya ada yang mau gua omongin, tapi kayaknya lo terganggu deh," kata Deven dengan raut wajah kecewa.

"Enggak. Enggak sama sekali terganggu. Gua kira lo itu Clinton makannya gua ngomong kayak gitu."

"Apa bedanya Clinton sama gua?"

"Ya ... Gua enggak suka aja ngobrol sama dia, enggak penting. Paling-paling yang di bahas cuman masalah gua nolak dia."

"Berarti gua penting, dong?"

"Enggak." Kemudian Anneth kembali merubah ke posisi awalnya.

Deven yang kini terkekeh pun ikut mengambil posisi duduk di sebelah Anneth.

"Kenapa lo nolak Clinton? Apa yang kurang dari dia coba? Nih ya, dia ganteng, manis, tinggi, putih, ketua OSIS, anak guru pula. Bukannya harusnya dia jadi idaman?" tanya Deven.

Anneth menutup novelnya. Tiba-tiba saja mood membacanya hilang karena mendengar nama Clinton. Ia melepas earphone di telinganya.

Anneth menghela napas."Idaman dari mana? Dari cover nya sih oke, tapi lo enggak tahu sisi dalamnya. Selama ini dia kelihatan baik itu bukan bener-bener sikap aslinya, dia cuma sekedar caper ke guru-guru dan cari muka doang. Tapi sebenarnya dia itu busuk!"

"Kok lo bisa beranggapan kayak gitu?"

Kesabaran Anneth sudah habis ketika membahas lelaki itu."Dia pernah nampar gua."

Seketika kedua mata Deven membulat."Kok bisa?" tanya Deven berusaha tenang.

"Kejadian ini udah lama ya sekitar kelas sepuluh, tapi masih terus teringat kalau setiap kali denger nama dia. Dia nampar gua gara-gara gua nolak dia dan membentak dia. Mungkin dia ngerasa enggak terima gua bentak kasar, makannya dia sampai nampar gua."

"Lo enggak ngasih perlawanan? Ngebales kek atau apa kek. Jangan terlihat lemah, Neth. Kalau lemah lo bakal selalu diintimidasi."

"Saat itu gua memang lemah. Sedikitpun gua enggak berani membalas dia. Dia membentak balik sampai-sampai gua takut kalau dia bakal melakukan hal yang lebih."

"Jangan takut karena lo enggak salah. Asal lo tahu, tindakan dia itu udah nggak wajar apalagi dia dulu adalah calon ketua OSIS."

"Udah lah enggak usah di bahas, lagian udah lewat juga kan? Dari situlah gua tahu kalau dia itu kasar."

THE DEEPESTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang