Setelah mempersiapkan segala sesuatu, keesokan harinya Kayla dan Andira berangkat ke Jakarta diantar Nurdin—sopir keluarga Andira. Sementara Bagas dan yang lain, berangkat menggunakan mobil Rayhan.
“Kujamin kamu akan dapat banyak hasil foto yang keren,” kata Andira sambil berjalan melewati lorong berisi deretan kamar sebuah hotel di kawasan Senayan. Raut wajahnya memperlihatkan sebuah keyakinan.
“Aku masih perlu belajar banyak dari kamu. Mana mungkin bisa sekeren itu?” Kayla masih sibuk memperhatikan hasil jepretannya.
“Kamu itu punya bakat motret. Apalagi kalau yang dipotret cowok-cowok keren. Pasti hasilnya keren banget.”
“Oh … jadi, dari tadi itu maksud kamu? Sok muji aku segala,” ledek Kayla.
“Hehehe. Ya udah, aku mandi dulu,” tukas Andira begitu mereka sampai di depan kamar yang sudah dipesan jauh-jauh hari.
Sambil menunggu gadis itu selesai mandi, Kayla merapikan isi koper. Bukan hanya koper kecil miliknya, melainkan juga sebuah koper besar milik Andira. Hanya menginap tiga hari saja barang bawaan sepupunya itu sudah seperti orang pindah rumah. Belum lagi tas kecil khusus untuk menyimpan kamera hitam. Kayla tidak boleh sembarangan meletakkannya.
Satu jam sudah Kayla menunggu giliran mandi. Namun, Andira belum juga keluar. Begitulah seorang Andira Sukma Atmajaya, betah sekali berlama-lama di kamar mandi.Bosan menunggu, Kayla memilih keluar kamar, mencari udara segar. Tak lupa ia membawa kamera hitam Andira. Tentunya setelah mendapat izin dari sang empunya. Meskipun Kayla harus sedikit berteriak karena suaranya kalah dengan shower yang dinyalakan Andira.
Baru berdiri di ambang pintu kamar, Kayla melihat tiga orang yang juga baru check in. Salah satunya Ali. Pemuda itu datang bersama sahabat-sahabatnya yang juga merupakan rekan satu kantor di penerbit tempat mereka bekerja.
Kayla hanya memperhatikan mereka dari jauh tanpa berniat menyapa. Bahkan, ketika mereka lewat di depannya. Kayla hanya tersenyum kecil pada orang yang menyapa terlebih dulu—Hikmat dan Willy.
“Tumben kamu enggak diajak foto bareng, Al?”
Samar-samar Kayla mendengar pertanyaan yang terlontar dari bibir Hikmat. Dari sudut mata Kayla, pemuda berperawakan tinggi itu menoleh sekilas padanya.
“Iya, nih. Udah luntur, ya, auramu?” ledek Willy yang berjalan di samping Ali. Ali menggelengkan kepala sambil terkekeh.
“Apanya yang luntur? Dari dulu aku, mah, aur-auran,” seloroh Ali seketika membuat teman-temannya tertawa lepas. Sekilas ia ikut menoleh pada Kayla, lebih tepatnya pada pintu kamar gadis itu.
Kayla yang mendengarnya juga tak kuasa menahan tawa. “Ada-ada aja dia,” gumamnya.
“Ngapain sendiri?” tanya Andira yang menghampirinya dari belakang. Gadis yang masih mengenakan handuk di kepala itu memang tidak dapat melihat wajah Kayla. Namun, kedua bahu Kayla tampak bergerak-gerak menandakan ia sedang tertawa.
“Eh! Udah selesai mandi ternyata,” sahut Kayla setelah menoleh, tak langsung menjawab pertanyaan Andira. Gadis itu kemudian menutup pintu.
“Udah. Kenapa tadi ketawa?” Andira mengulangi pertanyaannya sambil melepas lilitan handuk di kepala dan mulai menggapai sebuah hairdryer di meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kayla in Love (END)
SpiritualKayla tidak pernah memikirkan apa kata orang lain tentangnya. Allah Maha Mengetahui, dan itu sudah cukup baginya. Hijrah mungkin mudah, tapi istiqamah itu yang sering kali susah. "Kamu pakai rok?" "Kamu enggak pakai make up, ya?" "Masa sih kamu engg...