Bagas, Rayhan, dan Widya baru saja pulang dari kegiatan hiking di Bromo selama hampir satu minggu. Mereka tampak kelelahan saat masuk kuliah. Terlebih Widya yang notabene perempuan. Meskipun ia tomboi, fisiknya tetap perempuan biasa. Seperti saat ini, gadis itu sedang menyandarkan kepala pada meja perpustakaan.
Tadinya ada tugas dari dosen yang mengharuskannya berkutat di tempat paling damai itu. Namun, bukannya mencari buku sebagai bahan membuat makalah, ia justru duduk di lantai berlapis karpet biru tua. Kedua lengannya dijadikan bantal. Mencari posisi senyaman mungkin. Hingga sebuah suara mengusik tidurnya.
"Capek banget, ya? Sampai harus tidur di sini."
Suara itu, suara yang akhir-akhir ini membuatnya lupa pada kekaguman terhadap Ali Muhammad Thalib. Suara berat yang menenangkan dan tanpa sadar juga ia rindukan. Suara yang membuatnya kini mengangkat kepala. Menatap sepasang mata yang membuatnya terbang ke langit. Namun, buru-buru ia mengalihkan pandangan. Teringat kata-kata Kayla bahwa dilarang saling berpandangan apalagi menatap mata seseorang yang bukan mahram.
"Kak Devan ... Kak Devan di sini? Sejak kapan?" Widya mengucek bagian bawah kelopak matanya. Devan tersenyum, lalu menepuk-nepuk pelan puncak kepala gadis itu.
"Baru aja. Masih ngantuk?" Devan berjongkok dengan posisi bertumpu pada satu kaki dan kaki lainnya menopang lengan.
"Mau dibeliin makan, enggak?"
"Hah? Eng--enggak usah, Kak." Widya merutuki dirinya sendiri yang tampak salah tingkah. Sementara pemuda di hadapannya justru tersenyum.
"Kamu pasti ngira kalau aku cuma bercanda, ya?" Devan memposisikan dirinya untuk duduk di samping Widya.
"Bercanda? Soal apa?" beo Widya yang disusul kekehan Devan.
"Ya udah. Enggak usah dipikirin. Lupain aja!"
"Kak Devan, mah, suka gitu. Orang udah penasaran, malah enggak jadi dibahas."
Devan lagi-lagi terkekeh. Lebih tepatnya saat ini ia tertawa renyah. Jantungnya semakin tidak sehat jika terus berdekatan dengan Widya. Ia pun menoleh ke arah sebuah rak khusus buku-buku ilmu komunikasi. Tak jauh dari sana, ada Haris yang sedang membaca buku, ditemani Andira yang asyik memotret.
Devan kembali menoleh pada gadis di sampingnya. "Kalau masih ngantuk, tidur lagi aja. Tapi, jangan lupa bangun. Masih ada kelas lagi, 'kan?"
Widya mengangguk mantap sambil memberikan seulas senyuman. Begitu pula dengan Devan. Pemuda itu kemudian berdiri dan menghampiri Haris yang duduk berjauhan dengan Andira. Mereka duduk berseberangan di depan meja yang sama.
"Berkhalwat itu dosa. Kok, kamu sama Andira?"
Haris menoleh pada pemuda yang kini duduk di sampingnya, melirik sekilas pada Andira. "Ini enggak berkhalwat, Van. Lihat, tuh! Ada Kayla, Bagas, sama Farah."
Kayla yang sedang menunduk lantaran mengambil pena yang terjatuh, mendongak. Begitu pun dengan Farah yang sedang mencari-cari buku di rak bersama Bagas. Devan pun nyengir sambil menggaruk tengkuknya. Bersamaan dengan Farah dan Bagas yang sudah selesai mencari buku dan duduk di meja Haris.
"Kayaknya ada yang benar-benar pengen jadi ketua UKM fotografi, nih," celetuk Devan. Pandangannya tertuju pada Andira yang kini sedang memotret Haris. Posisi Haris yang sedang fokus membaca buku terlihat cool dan fotogenik di mata Andira.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kayla in Love (END)
SpiritualKayla tidak pernah memikirkan apa kata orang lain tentangnya. Allah Maha Mengetahui, dan itu sudah cukup baginya. Hijrah mungkin mudah, tapi istiqamah itu yang sering kali susah. "Kamu pakai rok?" "Kamu enggak pakai make up, ya?" "Masa sih kamu engg...