Kamu dapat salam dari Mama dan Abah.
Seulas senyum menghiasi bibir merah muda Kayla. Ia juga tidak mengerti mengapa perasaannya menghangat mendapati pesan dari Ali. Apalagi ia mendapat salam dari kedua orang tua pemuda itu. Kayla sampai bingung harus menjawab bagaimana.
Wa'alaikumsalam warahmatullahi wa barakatuh. Salam hormat buat beliau berdua."Cie yang habis chatting sama calon imam," goda Farah yang mampu membuat kedua pipi Kayla memanas.
"OTW halal ini, mah," celetuk Andira.
"Apaan, sih, kalian? Tadi itu cuma chat biasa," elak Kayla lalu kembali sibuk dengan makalah di hadapannya.
"Ada yang salting, nih," goda Farah lagi.
"Baru kali ini, lho, aku ngelihat sepupu tersayangku salting."
Farah dan Andira kemudian tertawa geli. Sementara Kayla sibuk menetralkan perasaan gugupnya. Ia berusaha menulikan telinga dari ocehan tidak berfaedah kedua gadis di sampingnya.
***
Sepulang dari kampus, Bagas yang selalu berangkat bertiga dengan Farah dan Widya, singgah sebentar di minimarket. Namun, lantaran barang yang akan dibeli Bagas tidak ada di sana, mereka menuju ke sebuah pusat perbelanjaan. Meskipun sebenarnya dengan sangat terpaksa, Bagas tidak punya pilihan lain.
Sambil memilah-milah bahan-bahan kue untuk toko sang ibu, pemuda itu melirik dua gadis di belakangnya. Dalam hati ia berharap kedua gadis penggila belanja itu tidak sedang ingat dengan hobi mereka. Apalagi tak jauh dari outlet ini terdapat outlet pakaian khusus perempuan. Hal yang biasanya membuat sepasang mata Farah dan Widya berbinar.
Namun, apa yang ia cemaskan tidak terjadi. Sejak tadi Farah asyik dengan milkshake stoberi miliknya. Sementara Widya, gadis itu sibuk chatting dengan Devan. Perubahan yang sungguh menggembirakan bagi Bagas. Ia tidak perlu stres lagi jika mengajak mereka berdua pergi.
"Kamu enggak belanja? Tumben," sindir Bagas begitu mereka berjalan menuju tempat parkir. Farah menoleh lalu tersenyum.
"Enggak boleh sama Mama."
"Bukannya dari dulu juga enggak boleh?"
"Iya, sih. Tapi, sekarang kalau aku masih buang-buang uang, kartu kreditku bakal diblokir sama Papa," adunya yang justru ditanggapi dengan usapan di kepala oleh Bagas.
"Kalau kamu?" Bagas menoleh pada Widya sambil membukakan pintu untuk Farah karena mereka sudah tiba di depan mobil. Farah pun masuk dan Bagas langsung menutup pintu.
"Udah beralih hobi." Widya cengar-cengir lalu masuk. Gadis yang masih sibuk dengan ponsel itu duduk di bangku belakang.
"Beralih jadi apa?" Bagas yang kini sudah siap di depan kemudi menoleh ke belakang sambil mengernyitkan dahi. Berpura-pura tidak tahu sambil berusaha memancing Widya untuk mengaku.
"Ada, deh."
"Kak Devan lagi?" Farah menoleh pada Bagas dan langsung diangguki oleh pemuda itu. Mereka berdua tertawa bersama.
"Ok.Apa pun alasannya. Yang penting sekarang, no shopping shopping club!" seru Bagas lalu mulai mengemudikan mobilnya.
***
Dua bulan berlalu. Usai melaksanakan shalat dan menyempatkan bertadarus satu jam yang lalu, Ali kini duduk di kafe. Ia sedang beristirahat sambil menyaksikan anak-anak bermain bola di pantai. Angin semilir yang membelai menjadikan pemuda itu betah berada di sana.
Bayangan tentang masa kecilnya saat pulang-pergi ke tempat bimbingan belajar, berputar begitu saja. Dirinya yang saat itu berusia delapan tahun sudah harus bisa mandiri dan mendisiplinkan diri sendiri. Di saat anak-anak seusianya bermain bola di lapangan, Ali kecil sibuk dengan berbagai lomba.
Namun, masa kecil yang dikorbankan setimpal dengan apa yang kini ia dapatkan. Seiring dengan prestasinya, ketenaran dan kecukupan harta turut diraih dengan mudah oleh pemuda itu. Satu hal yang mengganggu pikirannya. Ia belum mewujudkan cita-cita kedua orang tuanya. Ia belum bisa memberangkatkan keduanya ke Baitullah. Bukan karena apa-apa, melainkan keduanya ingin berangkat bersama dirinya dan Ahmad ke Tanah Suci.
"Insya Allah, tahun depan aku akan wujudin cita-cita Abah sama Mama," gumam Ali sambil memainkan ponsel. "Kalau bisa ke Baitullah bareng jodoh, makin afdhal kayaknya." Ali tergelak sendiri dengan angan-angannya.
"Emang udah punya jodoh?" Dean yang muncul dari belakang, membuat Ali terkejut. "Habis putus sok-sok ngomongin jodoh," ledek laki-laki itu, lalu tertawa geli.
"Habis makan cabai, ya?" Ali menoleh pada laki-laki yang kini duduk di sebelahnya.
"Kenapa, Al? Kamu, kan, tahu aku enggak suka makan pedas," beo Dean.
"Ngomongnya pedas banget. Gini-gini aku udah move on. Udah lama juga. Udah lupa."
Hans manggut-manggut.
"Emang benar udah ada, Al?" Dean menoleh sesaat sebelum akhirnya kembali fokus membidik pemandangan pantai.
"Apanya yang udah ada?" Ali kemudian menyantap seafood yang tadi dipesan, sambil memperhatikan anak-anak yang bermain layangan.
"Jodoh. Kamu udah dapat?" Dean kemudian ikut menikmati seafood pesanannya. Deburan ombak yang bergulung dan hamparan pasir lembut memanjakan mata laki-laki berkumis itu.
Ali terdiam, bibirnya menyunggingkan sebuah senyum manis. Mendengar kata "jodoh" membuat sekelebat wajah lugu seorang gadis terlintas dalam benak pemuda itu. Siapa lagi kalau bukan Kayla. Gadis yang membuatnya percaya bahwa tak semua perempuan seperti sang mantan. Tak semua perempuan selalu memikirkan kepentingannya sendiri. Gadis yang mengingatkannya pada pesan sang ayah untuk memperbanyak ibadah. Gadis yang kata sang ibu merupakan calon istri shalihah.
"Fix! Kamu jatuh cinta lagi ini!" seru Hans hingga membuat orang-orang di sekitar memandang mereka. Ali langsung memukul lengan berotot laki-laki di sampingnya itu. Bermaksud memintanya untuk memelankan suara.
***
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Kayla in Love (END)
EspiritualKayla tidak pernah memikirkan apa kata orang lain tentangnya. Allah Maha Mengetahui, dan itu sudah cukup baginya. Hijrah mungkin mudah, tapi istiqamah itu yang sering kali susah. "Kamu pakai rok?" "Kamu enggak pakai make up, ya?" "Masa sih kamu engg...