Setelah menerima pesan singkat dari Rayhan, Kayla pergi ke tempat yang dimaksud oleh pemuda itu. Meskipun ia juga cukup khawatir pergi berdua dengan mantan kekasih sang sepupu. Bukan ia tidak percaya kepada pemuda berperawakan tinggi itu, tapi sikap kasar yang ditunjukkan membuatnya takut. Ditambah tatapan tajam dan kata-kata yang menusuk.
"Kenapa ketemu di sini, Ray?" tanya Kayla ketika Rayhan tiba di belakang Stadion Gelora Bandung Lautan Api, tempatnya menunggu sejak sepuluh menit lalu.
"Aku udah peringatin kamu, enggak usah ikut campur urusanku sama Andira!" desis Rayhan dengan tatapan tajamnya. Kayla mengernyitkan dahi, tak mengerti lagi dengan pemuda di hadapannya.
"Aku enggak pernah ikut campur."
"Aku tahu, kamu enggak suka dan enggak mau pacaran. Tapi apa harus kamu nyuruh Andira buat mutusin aku? Hah?"
"Aku enggak nyuruh apa-apa. Malah aku enggak tahu soal itu kalau Andira enggak cerita. Kemarin aja aku bingung kenapa Andira tiba-tiba ngajak pulang padahal dia yang ngajak main."
"Kamu mungkin enggak nyuruh, tapi kamu emang pengen kami putus, 'kan?"
Kayla diam saja. Ia rasa percuma menjawab pertanyaan Rayhan yang lebih condong ke arah menyudutkan.
"Kamu enggak tahu apa-apa kenapa aku bisa pacaran sama Andira dan kamu enggak akan pernah ngerti. Karena apa? Karena kamu enggak ngerasain apa yang aku rasain. Kamu enggak tahu sakitnya kehilangan."
"Maaf, Ray. Kamu pikir ayahku meninggal, itu bukan kehilangan? Tapi apa aku marah-marah enggak jelas kayak kamu? Enggak. Karena itu udah takdir. Kamu kayak gini pun, itu enggak mengubah apa-apa." Entah mendapat angin dari mana, Kayla berani menjawab kalimat panjang Rayhan. Ini untuk pertama kalinya.
Kayla meringis saat menyadari tangan besar Rayhan menampar pipi kirinya. Terasa panas dan sedikit perih di ujung bibir. Gadis itu berkaca-kaca, tapi tidak menangis. Sementara Rayhan, tangan pemuda itu bergetar, tidak percaya bahwa ia bisa lepas kendali. Pemuda itu pun pergi setelah sempat menggumamkan kata maaf.
"Kay? Kok malah ngelamun, sih?" Ali menggoyangkan telapak tangannya di depan wajah Kayla. Kayla mengerjap, membuyarkan lamunan panjang tentang perdebatannya dengan Rayhan beberapa saat lalu.
"Emm ... A Ali kapan pulang?" Kayla menoleh, tersenyum kecil untuk mengalihkan perbincangan.
"Kemarin lusa."
Kedua alis Ali hampir menyatu saat mendapati luka di sudut bibir bagian kiri Kayla. Dirinya memang duduk di sebelah kanan gadis itu. Jadi, baru saat gadis itu menoleh sepenuhnya, ia bisa melihat luka itu. Tangan Ali refleks menyentuhnya dan seketika membuat Kayla meringis.
"Itu kenapa? Itu yang buat kamu nangis?" Ali menatap Kayla khawatir, lalu menarik tangannya kembali.
"Enggak kenapa-kenapa, kok, A." Kayla menjeda kalimatnya, membuat Ali mendesah pelan. "Emm ... aku, kan, udah kirim puisinya ke A Ali. Tapi, kok rekamannya belum jadi?" Kayla kembali mengalihkan pembicaraan.
"Obatin dulu luka kamu."
"Enggak usah, nanti juga sembuh sendiri." Kayla mengambil selembar tisu dari dalam sling bag lalu menekan-nekan pelan sudut bibirnya. Ia meringis dan itu membuat Ali berdecak.
"Katanya enggak kenapa-kenapa? Kok mukanya gitu?" ledek Ali sambil terkekeh. Pandangannya masih tertuju pada wajah Kayla.
Sementara Kayla berusaha mengalihkan pandangan, menetralkan detak jantung yang berdebar kencang secara tiba-tiba. Maklum, ia tidak pernah dipandang selekat itu oleh laki-laki.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kayla in Love (END)
EspiritualKayla tidak pernah memikirkan apa kata orang lain tentangnya. Allah Maha Mengetahui, dan itu sudah cukup baginya. Hijrah mungkin mudah, tapi istiqamah itu yang sering kali susah. "Kamu pakai rok?" "Kamu enggak pakai make up, ya?" "Masa sih kamu engg...