Syafira sedang duduk di rooftop sebuah restoran. Sambil sesekali menyeruput cappucino yang dipesannya, ia menikmati langit senja yang kemerahan. Burung-burung yang terbang tinggi terlihat begitu kecil di atas sana.
Sore yang begitu sempurna bagi Syafira. Apalagi, ia dapat menikmatinya hanya berdua dengan sang calon tunangan. Seperti biasa, setiap kali mengajak makan bersama, Tyo selalu menyiapkan tempat khusus. Ia menyewa seluruh bagian rooftop. Jadi, pengunjung lain tidak ada yang bisa naik dan makan di atas.
Sepasang lengan melingkar pada leher Syafira, membuat gadis itu terkejut. Hanya sesaat, sebelum ia akhirnya tersenyum senang. Ia tahu betul siapa yang melakukan itu. Hanya Tyo dan selalu Tyo.
"Maaf, bikin kamu nunggu lama." Sebuah kecupan ringan diberikan oleh Tyo pada puncak kepala Syafira.
"Enggak, kok. Siapa yang telepon kamu?"
"Papa. Ngomongin kerjaan. Katanya, aku harus bisa memenangkan tender yang di Bali itu." Tyo mendengkus, lalu duduk di depan Syafira.
"Semangat, atuh. Papa, kan, pengen yang terbaik buat masa depan perusahaannya."
"Iya, kamu benar." Tyo diam sejenak. "By the way, selama ini aku enggak pernah tahu alasan kamu mau ngelepas Ali demi aku. Aku tahu banget dulu kamu posesif sama dia. Boleh tahu itu sekarang?"
"Harus banget, nih, ngomongin mantan? Udahlah, Yo."
"Enggak gitu, Sayang. Aku penasaran aja."
Syafira menghela napas. "Gini, deh. Misal kamu punya sesuatu yang pengen banget kamu dapatkan, tapi enggak bisa. Terus, ada hal lain yang tiba-tiba datang di hidup kamu dan memberikan apa yang kamu mau. Jelas kamu terima, 'kan?" Syafira menjeda kalimatnya dan Tyo mengangguk.
"Kalau tiba-tiba sesuatu yang baru itu ternyata enggak bisa kasih kamu kebahagiaan kayak yang kamu harapkan sebelumnya, apa iya kamu mau bertahan? Sementara sesuatu itu juga enggak nyaman karena kekangan kamu."
"Harus banget, nih, kamu jelasin sepanjang itu? Udah kayak dengar presentasi, tahu enggak." Tyo terkekeh.
Syafira mengabaikan pertanyaan Tyo. "Dan di saat itu, sesuatu yang dari dulu kamu inginkan, datang ngasih harapan. Apa iya kamu bakal nolak? Sementara kamu udah lama banget nunggu sesuatu itu sampai secara enggak sadar cari pelampiasan."
"Terus? Relevansinya apa, Sayang?"
"Kamu itu cinta pertama aku, Yo. Sejak kejadian first kiss enggak sengaja itu, aku suka sama kamu."
"Masa, sih?! Kok aku enggak nyadar itu, ya?"
"Iya. Tapi gara-gara aku ngira kamu cuma anggap aku sebagai sahabat, aku berhenti berharap. Sampai akhirnya, pas kita udah kelas XII aku kenal Ali yang notabene baru kelas X. Aku suka sama dia, dan dia juga sama."
Syafira terkekeh sendiri mengingat betapa sederhananya Ali saat menyatakan cinta padanya. Sebagai warga baru di SMA tempat Syafira menuntut ilmu, bisa dibilang Ali bermental baja. Pemuda itu bahkan cukup populer sejak aksinya saat dihukum oleh anggota OSIS ketika MOS hari kedua.
Saat itu, Ali yang lupa tidak memakai sepatu dengan tali merah-putih, diminta maju. Yang membuat Syafira salut adalah kepercayaan diri pemuda itu. Seorang anggota OSIS meminta Ali untuk bernyanyi. Entah mendapatkan keberanian dari mana, pemuda itu meminjam gitar milik salah satu teman sekelas Syafira yang sedang menyaksikan kegiatan MOS di pinggir lapangan. Kebetulan, kelas XII IPS 3---kelas Syafira---sedang jam kosong.
Ketika aksi menyanyi Ali selesai, teman sekelas Syafira sekaligus pemilik gitar tadi pergi ke kantin. Sebelumnya ia menitipkan pesan pada Syafira untuk menerima gitar itu jika dikembalikan oleh Ali. Dari sanalah perkenalan mereka terjadi. Awalnya Syafira ingin menguji Tyo, apakah cemburu saat melihatnya memiliki teman dekat laki-laki selain pemuda itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kayla in Love (END)
SpiritualKayla tidak pernah memikirkan apa kata orang lain tentangnya. Allah Maha Mengetahui, dan itu sudah cukup baginya. Hijrah mungkin mudah, tapi istiqamah itu yang sering kali susah. "Kamu pakai rok?" "Kamu enggak pakai make up, ya?" "Masa sih kamu engg...