"Kirain Aa bakalan betah di Semarang. Biasanya kalau udah nyaman, susah," sindir Ahmad.
"Betah-betah aja, sih, di sana. Cuma, si Bos bilang Aa enggak dimutasi lagi ke depannya. Ya mending balik ke Bandung, kan."
"Yakin itu alasannya?" Rauf menaikkan sebelah alis dengan pandangan tak lepas dari pemuda yang kini duduk di hadapannya.
"Ali, kan, harus mewujudkan cita-cita Mama sama Abah."
"Cita-cita yang mana dulu, atuh?"
"Maksudnya ... naon (apa)? Teu ngarti abdi (enggak ngerti aku), mah."
"Ke Tanah Suci bersama atau ... melihat kamu menikah?" Nur Farida tersenyum menggoda ke arah putra sulungnya. Sementara Ali yang cukup terkejut tampak menggaruk-garuk tengkuknya.
"Makanya jangan mancing, A! Giliran dikasih tahu, kicep." Ahmad dengan raut menyebalkan, meledek sang kakak yang tampak bingung menjawab.
"Yang pertama, atuh." Ali kemudian meminum bajigur yang tadi dibeli Ahmad.
"Kenapa kalau yang kedua?" Rauf memasang raut menyelidik. Mencoba mencari tahu lebih dalam lagi. Pria itu tahu ada sesuatu yang sedang dipendam oleh Ali.
"Soalnya ... Teh Kayla enggak mau sama A Ali, Bah." Ahmad langsung berdiri dari sofa, lalu berlari. Mengetahui bahwa perkataannya akan membuat sang kakak kesal.
"Awas aja kamu, Mad!" geram Ali penuh peringatan. Pemuda itu duduk tak tenang, lalu memilih beranjak dari sana menuju kamar. Sementara kedua orang tuanya tertawa renyah.
***
Kayla baru saja keluar dari gerbang kampus. Hari ini, ada banyak tugas yang membuatnya pulang sore. Bahkan, adzan asar pun sudah lewat sejak lima belas menit yang lalu. Membuatnya melaksanakan shalat di masjid kampus. Sementara Andira juga sudah pulang lantaran untuk tugas kali ini, mereka tidak satu kelompok. Andira pulang bersama dua temannya yang lain.
Penampilan Kayla sudah terlihat sedikit kusut. Jauh berbeda dengan tadi pagi saat baru berangkat. Meski begitu, wajahnya terlihat segar dan bercahaya. Efek air wudhu yang membasuhnya sebelum shalat asar tadi. Tidak ada sisa make up, sekalipun hanya lip tint atau eyeliner.
Mata Kayla menyipit saat melihat sebuah mobil berhenti tepat di depannya. Mobil itu tidak asing lantaran beberapa kali ia duduk di dalamnya. Seorang pemuda dengan pakaian santai keluar dari pintu kemudi. Sebuah senyuman manis menghiasi bibir saat menghampiri Kayla yang masih mematung. Tidak terlihat memang, lantaran separuh wajah tampannya tertutup masker. Namun, senyum itu terlihat dari kerutan yang muncul di sudut mata.
"Kok A Ali ... ada di sini?" Kayla mengerjapkan mata beberapa kali.
"Tadi aku teleponan sama Haris. Katanya dia lihat kamu masih di masjid pas dia mau shalat asar." Kayla mengangguk perlahan, tadi ia memang melihat Haris sedang menelepon seseorang di serambi masjid.
"Boleh aku antar kamu pulang? Takutnya nanti kemalaman. Soalnya kalau sore angkot udah jarang lewat."
'Tapi, kan, A Ali cuma sendirian. Berarti nanti aku berdua sama A Ali' batin Kayla sambil memperhatikan sesuatu di balik kaca mobil abu-abu itu. Tidak ada Ahmad di sana.
"Ahmad emang enggak ikut. Dia masih ada kelas sore." Lagi dan lagi Kayla dibuat heran lantaran Ali seolah bisa membaca batinnya.
Ali tersenyum lagi, lalu membukakan pintu. "Nanti kacanya dibuka, biar kamu nyaman."
Kayla mengangguk, lalu masuk. Gadis itu menghela napas, lalu memejamkan mata sesaat. Jantungnya berdegup kencang. Untuk pertama kalinya ia duduk hanya berdua dengan laki-laki di dalam mobil. Ia bertekad dalam hati bahwa ini untuk yang pertama dan terakhir, semobil berdua dengan laki-laki yang bukan mahram.
Sesuai janjinya, Ali menurunkan kaca jendela dan membuat Kayla sedikit lega. Setidaknya ada sesuatu yang dapat mengurangi kegugupan gadis itu. Ia memasang sabuk pengaman begitu melihat Ali juga melakukannya. Mereka sempat tanpa sengaja beradu pandang. Tidak lama, hanya satu detik. Kayla langsung memutuskan pandangan dan memilih melihat kesibukan di jalanan. Teman-teman kampusnya sudah banyak yang keluar dari gerbang, menuju pulang.
Selama perjalanan hingga tiba di Chokafe, tidak ada percakapan berarti. Beberapa kali Ali membuka percakapan. Pemuda berpakaian serba abu-abu itu bercerita mengenai kehidupannya di Semarang. Tentang ia yang harus beradaptasi dengan makanan khas sana dan tentang hal kecil lainnya. Sementara Kayla, meski tertarik, hanya bisa menanggapi dengan beberapa kata saja.
"Kamu mau pesan apa?" tanya Ali begitu mereka tiba di kafe dan duduk di kursi dekat dinding. Di perjalanan tadi, ia merasa lapar dan mengajak Kayla singgah sebentar lagi. Seperti Haris, ia bebas makan di private room tanpa memesan terlebih dulu. Namun, ia terlebih dulu menelepon pegawai di sana, memastikan tidak ada pengunjung lain yang sedang memakainya.
Ali membolak-balikkan kertas menu dengan seorang pelayan yang berdiri tak jauh darinya. Pemuda itu kemudian menunjuk minuman dan makanan yang ingin ia pesan. Sementara Kayla masih terdiam. Dahi Ali pun mengernyit, menunggu gadis itu bicara sekaligus mempertanyakan keterdiamannya.
'Ya Allah. Aku lupa kalau ini Senin' batin Kayla lalu mengusap tengkuknya.
"Kenapa?"
"Aku enggak pesan, A."
"Kenapa? Masa aku aja yang makan? Enggak enak, atuh."
"Emm ... bukan gitu. Aku lagi enggak makan." Ucapan Kayla tadi membuat dahi Ali makin berkerut.
"Pacarnya lagi puasa, kali, A," celetuk pelayan tadi dan keduanya langsung menoleh.
"Eh? Bukan, kok, bukan pacar, Teh," koreksi Kayla dengan cepat.
Sementara Ali justru mengabaikan anggapan pelayan itu, ia memandang Kayla. "Kamu puasa? Puasa sunnah?" Kayla mengangguk pelan. "Ya Allah, kenapa enggak bilang?"
"Maaf ... aku juga baru ingat. Untung belum pesan." Kayla nyengir dan itu justru membuat Ali gemas.
"Jadi, pesanannya gimana, A?" Ali hampir saja melupakan pelayan yang masih mematung di sana, saking asyiknya menatap pipi tembam Kayla.
"Jadi, Teh. Makanannya lima, dibungkus. Jadiin tiga kreseknya." Pelayan itu pun mengangguk dan bergegas pergi.
"Emm ... tapi emang kalau benar kamu pacar aku, enggak mau?"
"Eh? A Ali, mah, aneh-aneh aja. Enggak mungkin aku sama A Ali."
Ali mengerjapkan mata, berdehem pelan. Pemuda itu lalu membuang pandangan ke arah lain. Ke mana saja asal jangan ke wajah Kayla. Kalimat gadis itu tadi seolah sangat berpengaruh pada suasana hatinya. Sebelumnya, ia tidak pernah merasa seperti ini. Dirinya yang dielu-elukan banyak gadis di luar sana, justru 'ditolak' mentah-mentah oleh seorang Kayla Ramadhani.
Tidak ada suara dari meja mereka. Ali sibuk dengan pikirannya sendiri, hingga seorang pelayan datang. Tiga kresek cokelat muda diletakkan di atas meja persegi. Ali pun langsung mendongak, menerima bill, dan segera membayarnya. Ia segera mengantarkan Kayla pulang.
"Yang aku tahu dari Haris, kamu itu suka menyendiri. Kadang aku pengen tanya sama kamu. Tapi setelah aku kenal kamu, aku jadi tahu kalau menyendiri itu kadang menyenangkan." Setelah diam selama perjalanan, akhirnya Ali berani membuka suara. Baru kali ini ia kehabisan topik pembicaraan.
Kayla menoleh, tersenyum manis pada pemuda di sebelahnya. Bukan sama sekali tidak percaya pada teman, tapi menyendiri memang kadang dibutuhkan. Karena itulah, ia mengisi kesendiriannya dengan hal-hal yang baik. Membaca Al-Qur'an misalnya. Karena baginya, sebaik-baik teman adalah Al-Qur'an, sebaik-baik kekasih adalah Allah.
"Kalau suatu hari aku jatuh cinta sama kamu, gimana?" Entah mendapat dorongan dari mana, Ali menanyakan hal itu. Ia menatap gadis yang kini berdiri di hadapannya. Mereka sudah tiba di depan rumah Andira dan Ali baru saja membukakan pintu untuk gadis manis itu.
***
TBCTerima kasih sudah membaca🙏
Ikuti terus, ya.
Jangan lupa vote dan komentarnya.
No plagiat!
See you on the next chapter ❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Kayla in Love (END)
EspiritualKayla tidak pernah memikirkan apa kata orang lain tentangnya. Allah Maha Mengetahui, dan itu sudah cukup baginya. Hijrah mungkin mudah, tapi istiqamah itu yang sering kali susah. "Kamu pakai rok?" "Kamu enggak pakai make up, ya?" "Masa sih kamu engg...