39. A Certainty

664 54 0
                                    

Ali kembali ditimpa musibah. Tulang lengan kanannya mengalami retak lantaran diserempet motor saat baru pulang dari masjid di seberang kantor. Lampu penerangan jalan yang mati dan efek minuman alkohol, membuat si pengendara motor tidak melihat keberadaan Ali yang sedang menyeberang.

"Sabar, A. Pasti Allah punya rencana yang baik buat Aa." Ahmad mencoba memberi semangat. Ali mengangguk, lalu menepuk-nepuk puncak kepala pemuda yang duduk di ranjang itu.

"Permisi, di luar ada Neng Kayla." Seorang wanita berusia empat puluh tahun berdiri di ambang pintu kamar Ali yang terbuka. Wanita itu merupakan asisten rumah tangga baru. Usia Farida yang sudah semakin tua menjadi alasan mengapa Ali memakai jasa asisten rumah tangga.

Senyum manis pun terbit di bibir Ali. "Ali temuin Kay dulu, Ma."

Farida tersenyum lebar sambil melempar tatapan menggoda. "Cie yang kangen."

Ali tersenyum lagi. Ia bahagia karena kehadiran Kayla disambut baik oleh keluarganya. Ia memang sudah menceritakan tentang Kayla kepada kedua orang tuanya. Termasuk, tentang perasaannya pada gadis manis itu.

"Kamu kok nangis?" tanya Ali dengan nada khawatir saat mata Kayla berkaca-kaca. Ia baru saja duduk di sofa ruang tamu. Duduk berjarak seperti biasa.

"Aa enggak apa-apa?" Kayla menghapus sebutir air yang baru saja meloloskan diri dari ujung matanya. Gadis itu memandang Ali dengan sorot kesedihan.

Kayla mendengar kabar mengenai kecelakaan yang dialami Ali dari Ahmad. Termasuk tentang kondisi lengan kanan Ali yang kini di-gips karena mengalami retak. Bukan hanya lengan, kepala Ali juga sempat diperban selama lima hari dirawat di rumah sakit. Kayla pun baru bisa menjenguk pada hari ini, saat Ali sudah diperbolehkan pulang.

Ali tersenyum. Ada rasa bahagia yang tidak bisa ia gambarkan mendengar kekhawatiran itu ditujukan oleh gadis yang dicintai. Pemuda itu kemudian menggeleng. Sejujurnya, ia ingin menghapus air mata itu dengan jarinya. Namun, ia kembali teringat bahwa mereka bukan mahram.

"Sakit, sih. Tapi ngelihat kamu datang, rasa sakitnya udah jauh berkurang. Aku baik-baik aja." Ali mengusap singkat puncak kepala Kayla.

"Kamu udah sembuh?" Ali mencoba mengalihkan pembicaraan, tak ingin gadis yang dicintai semakin sedih.

"Udah. Tapi sekarang Aa yang sakit."

"Kamu khawatir?" goda Ali sambil mengulum senyum.

"Al, enggak usah godain Neng Kayla kayak gitu, atuh." Farida yang menyusul ke ruang tamu, memasang raut sebal melihat sang putra justru menggoda Kayla yang sudah salah tingkah.

"Maaf, baru bisa jenguk. Aku ada banyak tugas kelompok," lirih Kayla.

"Enggak apa-apa. Kamu sendirian ke sini? Tumben."

"Diantar Andira, sih. Tapi dia langsung balik. Nanti dijemput."
Belum sempat Ali menanggapi jawaban Kayla, ponsel Kayla bergetar. Sebuah pesan singkat masuk, dari Andira. Kayla pun langsung membukanya.

[Dari tadi aku udah chat kamu.]
[Eh, kamunya enggak nyalain data seluler.]
[Ada yang gawat!]
[Lihat komentar di postingan terakhir kamu, Kay!]

Kayla mengernyitkan dahi membaca pesan pendek itu. Perasaan tidak enak tiba-tiba menghampirinya. Benar saja, ketika menyalakan data seluler, ada lima pesan dari Andira. Namun, ia memilih mengabaikannya. Ia beralih ke akun Instagram dan puluhan notifikasi langsung membanjiri ponselnya. Semua berasal dari komentar pada unggahan terakhirnya.

"Mama tinggal dulu, ya. Kalian jangan dekat-dekat!" Farida memperingatkan sambil beranjak dari duduk.

Kayla mendongak. "Tante mau ke mana?"

Kayla in Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang