4. Leaving Jakarta

1K 129 13
                                    

Matahari sudah tersenyum begitu hangat pagi ini. Begitu pun dengan Kayla yang sudah merindukan kota impiannya, Bandung. Ia sudah tidak sabar lantaran besok adalah hari pertama masuk kuliah. Terbayang betapa banyak keringat dan air mata yang dikorbankan orang tua demi membiayai pendidikannya hingga SMA. Mengingatnya saja sudah membuat butiran air bening di ujung mata gadis itu keluar.

Sambil mengemasi barang-barang pribadinya, sesekali Kayla termenung. Rasa kehilangan yang sebenarnya sudah berjalan selama satu tahun, masih menyesakkan baginya. Bukan kehilangan harta atau cinta, melainkan sosok sayap pelindungnya selama ini. Sosok yang selama tujuh belas tahun memanggilnya dengan kata sayang. Ia teringat sang ayah, almarhum Hadi.

Kematian adalah keniscayaan. Kalimat itulah yang akhirnya menyadarkan Kayla setelah beberapa hari kepergian sang ayah. Bukan orang lain yang mengatakan, melainkan hatinya sendiri. Ia tak ingin kesedihannya menghalangi jalan sang ayah menuju rumah yang kekal. Rumah yang kelak juga akan menjadi rumah seluruh manusia.

Andira yang baru bangun langsung mencabut kabel pengisi daya baterai ponselnya. Rupanya, ponsel yang semalam low bat lantaran dipakai untuk menonton video di YouTube, sudah penuh.

“Udah beres-beres aja kamu,” tegur gadis itu, sontak membuat Kayla menghapus air matanya secara diam-diam. Ia menoleh dan tersenyum kecil.

“Nanti aja, Kay. Kita sarapan dulu di bawah. Tapi kamu jangan kasih tahu Farah. Entar dia kasih tahu Rayhan. Aku masih malas ketemu Rayhan,” oceh Andira, lalu turun dari tempat tidur. Setelah salat subuh tadi, gadis itu memang tidur lagi. Pasalnya, semalaman ia menangis dan membuatnya susah tidur.

“Urus aja, tuh, mata kamu yang bengkak,” seloroh Kayla yang masih sibuk memasukkan beberapa barang ke koper kecilnya.

“Kayla, ish!” Andira memanyunkan bibir dan berlalu ke kamar mandi. Ia bermaksud mencuci muka supaya terlihat lebih segar dan tak terlalu sembab.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari luar. Kayla yang memang berada dekat dengan pintu bergegas membukanya. Namun, ia terkejut lantaran yang ada di hadapannya adalah Rayhan.

“Ngapain kamu ke sini?” tanya Kayla sambil memegangi pintu, menghalangi Rayhan supaya tidak bisa melihat ke dalam kamar.

“Kamu kenapa, sih? Aku cuma mau masuk sebentar, mau ketemu Andira.”

“Enggak boleh, Ray! Ini kamar perempuan.”

“Ya udah, sih, sebentar aja, kok. Aku khawatir, Andira enggak balas pesanku tadi malam.” Rayhan menjelaskan dengan wajah memelas yang sama sekali tak membuat Kayla berubah pikiran.

“Siapa, Kay?” Andira yang baru saja keluar dari kamar mandi mendekat. Namun, begitu melihat siapa yang datang, ia langsung menatap sinis dan menyuruh Kayla masuk.

“Aku mau ngomong, Ra,” kata Rayhan sedikit memaksa, tangannya menahan pintu yang sudah akan ditutup oleh Andira. “Kenapa pesanku enggak kamu baca semalam?”

“Kamu habis nangis, ya?” tanya pemuda bertinggi 175 cm itu dan lagi-lagi tidak dijawab oleh Andira.

“Keluar aja, Ra. Daripada Rayhan maksa masuk, bisa timbul fitnah,” bujuk Kayla dan akhirnya Andira menurut. Itu pun masih dengan raut yang tak bersahabat.

Kayla terkejut begitu Andira keluar dan Rayhan langsung memeluk gadis itu. Bahkan, Kayla sampai melotot dengan bibir menganga. Ia tak menyangka pemuda itu dengan lancangnya memeluk Andira.

“Kenapa enggak online semalam?” bisik Rayhan. Semalam, pesan yang dikirim oleh pemuda itu hanya mendapat satu centang abu-abu. Ia memang kurang beruntung lantaran saat ia mengirim pesan, Andira sudah mematikan data ponsel. Pemuda itu sedikit menyesal lantaran terlambat mengirim pesan. Rasa gengsi dan harapan bahwa Andira akan meminta maaf terlebih dulu, membuatnya urung mengirim pesan saat gadis itu online WhatsApp. Padahal, ia tahu bahwa Andira sempat online WhatsApp selama beberapa menit.

Kayla in Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang