Undangan pernikahan Kayla dan Ali tiba di rumah Hafidz. Hafidz terkejut, sangat terkejut. Bukan ini kabar yang diinginkannya dari Kayla. Ia mengira, usai menamatkan pendidikan di Bandung, gadis itu akan kembali ke kampung halaman. Namun, pada kenyataannya tidak. Yang datang hanyalah undangan pernikahan.
"Padahal waktu itu aku cuma bercanda, lho, Kay." Hafidz terkekeh pelan. "Ternyata ... kamu benar-benar nikah. Sama dia pula, sepupu dari teman masa kecil saudaraku di Bandung."
Haris memang merupakan teman masa kecil saudara Hafidz yang menetap di Bandung. Hafidz tidak pernah ke sana. Namun, saudaranya itu sering menunjukkan foto-foto ketika mereka pulang kampung. Hafidz dan saudara sepupunya itu memang hanya bertemu saat lebaran. Mereka biasa berkumpul di rumah sang nenek yang berada di belakang rumah Hafidz.
***
Setelah melakukan segala persiapan, Ali sekeluarga berangkat ke Semarang, kampung halaman Kayla. Segala keperluan pernikahan sudah selesai seratus persen sejak lima hari lalu. Meskipun menikah di tempat Kayla, Ali sama sekali tidak merasa kerepotan mengurus semuanya. Toh, ia menggunakan jasa wedding organizer milik salah satu temannya yang tinggal di sana.
Ali benar-benar mempersiapkan semuanya dengan sangat matang. Meskipun baru hari ini ia bisa berangkat lantaran kemarin lusa ia masih bekerja. Tubuhnya lelah, itu sudah pasti. Apalagi ia yang mengurus hampir semua hal. Sementara dari pihak Kayla, Hikam yang berperan. Laki-laki itu yang merekomendasikan gedung yang tepat untuk acara ijab qabul dan resepsi.
"Cie yang mau nikah," goda Ahmad sambil berbaring di sebelah Ali. Mereka baru saja tiba di hotel yang dipesan secara daring oleh Ali.
"Makasih, ya, Mad," gumam Ali masih sambil memejamkan mata.
"Makasih buat apa?"
"Makasih udah jadi adik yang baik buat Aa. Makasih udah selalu ingatin Aa kalau Aa salah." Ali menjeda kalimatnya. "Makasih, adik Aa yang nyebelinnya enggak nanggung-nanggung."
"Sama-sama, A. Tapi enggak usah peluk-peluk juga, atuh." Ahmad menepuk-nepuk lengan Ali yang memeluknya dari samping. Bukan hanya sesak lantaran kungkungan lengan kekar itu, melainkan kakinya terasa keberatan lantaran ditindih oleh kaki berotot sang kakak.
"A, ingat, udah mau nikah! Aa masih 'normal', 'kan?"
Ali langsung melepas pelukannya dan menjauh. Pemuda itu menjitak kepala Ahmad dengan gemas sekaligus kesal. "Enak aja kalau ngomong!"
Ahmad tertawa. "Bagus, deh. Kasihan Teh Kayla kalau ternyata Aa enggak normal," sahutnya sambil bangun dan bergegas keluar dari kamar. Antisipasi jika tiba-tiba sang kakak melemparnya dengan guling dan bantal.
"Untung adik," gumam Ali, lalu kembali memejamkan mata. Ia benar-benar lelah. Ia butuh melanjutkan tidurnya supaya bisa tampil segar saat ijab qabul esok hari.
***
Sesuai apa yang diinginkan Kayla, selama ini Ali tidak pernah memaksanya untuk menamai hubungan mereka dengan label pacaran. Saling mengetahui perasaan masing-masing saja sudah membuat keduanya bahagia. Sesederhana pertemuan pertama mereka. Tidak ada sebuah kesengajaan, tapi tidak pula sebuah kebetulan. Segala sesuatu telah diatur sedemikian rapi oleh Sang Pemilik Takdir.
Kayla dengan segala kepolosan dan ketidaktahuannya tentang cinta, bertemu dengan seorang Ali Muhammad Thalib. Pemuda yang mengajarkannya tentang indahnya jatuh cinta. Pemuda yang juga membuatnya bisa merasakan dicintai dan disayangi oleh lawan jenis.
Cinta mereka tidak mengenal sentuhan kulit. Namun, sudah bisa membuat segumpal daging di dalam dada berdebar kencang. Mereka juga tidak perlu saling menatap ke dalam mata masing-masing. Hanya perlu doa sebagai penyatu atas rasa yang sama-sama menggetarkan hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kayla in Love (END)
EspiritualKayla tidak pernah memikirkan apa kata orang lain tentangnya. Allah Maha Mengetahui, dan itu sudah cukup baginya. Hijrah mungkin mudah, tapi istiqamah itu yang sering kali susah. "Kamu pakai rok?" "Kamu enggak pakai make up, ya?" "Masa sih kamu engg...