BAB 6

2.4K 378 38
                                    

°°°


K

ini, seorang wanita tengah melihat pemandangan sebuah hutan dari jendela kaca rumah sakit terbesar yang terletak di Paddington, London. Tak peduli jika beberapa orang yang lewat berusaha untuk menyapanya, terlihat ramah hanya untuk disenyumi oleh wanita cantik, ia tetaplah fokus pada pemandangan jauh disana, yang ia namai sebagai karpet hijauㅡ karena banyak pohon dan juga tanah yang ditumbuhi oleh rumput gajah yang tebal. Matanya sembab, itu tandanya semalaman ia memproduksi air mata yang berlebih. Sekarang ini, hanya menangis yang ia bisa lakukan, sebab, ada dua hal yang harus ia tangisi habis-habisan. Pertama, perihal adiknya yang sekarang tengah terbaring lemah di ranjang rumah sakit akibat menderita kanker kolorektal, dan yang kedua tentang kekasihnyaㅡKim Seokjinㅡyang harus ia bohongi lantaran masalah biaya.

Walaupun ia adalah kekasih Seokjin, tak mungkin ia menengadahkan tangan di hadapan si pria guna dikasihani agar adiknya mendapat pertolongan biaya yang jumlahnya terbilang sangat mahal. Belum lagi, kata dokter, adiknya harus mengikuti pengobatan kemoterapi untuk membunuh sel-sel kanker yang dimanaㅡdalam satu kali kemoㅡ haruslah merogoh saku yang dalam. Apalah daya Jiseo yang semasa itu hanya bekerja sebagai staff tata usaha di sebuah SMA swasta, yang gajinya masih terbilang kecil untuk hitungan biaya hidup di Korea Selatan, terutama di Ibukotanya.

Mengingat adiknya adalah satu-satunya keluarga yang tersisa, Jiseo harulah berbuat semampunya agar sang adik bisa sembuh guna menemaninya menjalani hidup. Jujur saja, Jiseo paling takut ditinggalkan oleh orang yang ia kasihi, seperti adiknya sekarang. Namun kenyataannya, sekarang, ia adalah orang yang meninggalkan. Ia pergi dari hadapan Seokjin, menuliskan kepamitannya yang berupa kebohongan, meninggalkan calon suaminya dengan segala masalah yang ia timbulkan. Semuanya hanya karena biaya berobat sang adik.

Jika saja ia punya banyak uang dan tidak berasal dari rakyat kecil, maka, tak akan pernah secuilpun ia menerima uang pengobatan dari Tuan Kim. Dimana kenyataannya, setelah Jiseo merasa ketergantungan akan bantuan uang, ia diharuskan untuk pergi meninggalkan Negara kelahirannya dan menetap sampai adiknya membaik di London. Ia meninggalkan Kim Seokjin.

Jiseo menoleh sesaat setelah pundaknya ditepuk oleh seseorang yang ternyata adalah salah satu dokter wanita. Wanita berkacamata yang bisa bahasa Korea inipun berkata, "adikmu akan baik-baik saja. Aku tadi sudah memeriksa, kurasa ada sedikit peningkatan harapan untuk sembuh jika kau dan dia mau bertahan sedikit lagi." Tak ada yang bisa Jiseo sampaikan selain mengangguk, lalu jalan bersama dengan si dokter menuju ruangan adiknya. Mereka berhenti tepat di depan jendela kaca yang memampangkan betapa menyedihkannya kondisi sang adik, membuat Jiseo tak bisa menahan air matanya. Naluri seorang kakaknya begitu kuat, tak sanggup jika harus disuguhi pemandangan menyakitkan semacam ini.

Kadang ia selalu meraung dalam doanya, Tuhan, kenapa bukan aku saja? Kenapa harus adikku yang sekarang masih berusia lima belas tahun? Apa melalui penyakit ini Tuhan menegurnya dikarenakan ia kurang memerhatikan asupan gizi sang adik? Apa ini sebuah ganjaran untuknya karena tak bisa memberikan apa yang adiknya inginkan? "Dia baik-baik saja. Teruslah berdoa agar Tuhan segera menganggakat penyakitnya," ucap sang dokter, berusaha menegarkan Jiseo yang kini sudah terisak. Karena ini, terkadang ia berpikir, apakah ada gunanya aku melipat kesepuluh jari tanganku dan berdoa memohon kesembuhan adikku pada Sang Pencipta? Sebab sampai detik ini, tak ada satupun doanya yang dikabulkan oleh Tuhan. Ia frustasi dan hampir menyerah.

LO(ST)VETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang