BAB 8

2.2K 375 13
                                    

°°°

Seokjin tak akan pernah menyangka jika ia akan mengucapkan janji suci di depan Pendeta dengan lancar tanpa adanya sedikitpun hambatan yang membuatnya harus mengulang beberapa kali

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seokjin tak akan pernah menyangka jika ia akan mengucapkan janji suci di depan Pendeta dengan lancar tanpa adanya sedikitpun hambatan yang membuatnya harus mengulang beberapa kali. Memang, ia sudah berlatih lama untuk ini, sampai terkadang, setiap malam, ia selalu meluangkan lima menit waktunya sebelum tidur hanya untuk menggumamkan dan menghafalkan janji manis dari dirinya untuk sang calon istri. Tak akan menjadi masalah yang terlalu membuat Seokjin pusing jika yang berdiri di sebelahnya adalah Han Jiseo, tapi beberapa jam lalu, yang berdiri mendampinginya adalah seorang mahasiswa yang baru saja genap berusia dua puluh tahun, yang sama sekali tidak ia kenal dekat.

Banyak yang otaknya pikirkan tentang pernikahan ini, terutama tentang apa yang akan terjadi pada mereka berduaㅡdirinya dan Sakuraㅡdalam masa-masa yang akan datang. Lalu, yang paling parah, apa keputusan yang akan ia ambil saat Han Jiseo tiba-tiba kembali kesisinya? Oh, Seokjin benar-benar merasa otak pintarnya tak sampai untuk memikirkan semua konsekuensi ini. Jika hatinya meyakini jika Jiseo akan segera kembali padanya, maka ia harus bisa menahan diri untuk tidak terlalu kontak fisik dengan Sakura. Akan menjadi sesuatu masalah besar jika wanita itu sampai kenapa-napa karena kecerobohannya. Akan ia kemanakan persensi Lee Kkura? atau akan ia kemanakan perasaannya pada Han Jiseo?

Seokjin kembali dari lamunan sesaat setelah merasakan jika kemeja putihnya ditarik pelan. Kepalanya tertoleh ke samping kanan, mendapati sosok Sakura yang kini tengah menatapnya dengan telunjuk dan jempol yang mencapit ujung kemejanya. "Jadi, Pak Dosen, kamar saya yang mana?" Ini sudah ke tiga kalinya ia menanyakan hal yang sama, tentang dimana letak kamarnya. Pasalnya, dalam perjalanan pulang, Seokjin berkata padanya jika mereka tidak akan tidur sekamar. Tentu saja hal itu membuat Sakura merasa bahagia, sebab ia tidak perlu memikirkan seberapa luas kasur besar yang akan ia kuasaiㅡ karena tentunya akan ditempati oleh dua orang. Dan pastinya, ia bisa bebas tidur guling-guling di atas ranjang tanpa mengingat apa itu artinya batasan. Sakura suka, ia benar-benar sangat suka dengan ide gila ini!

Seokjin berdehem sejenak, kemudian menggaruk kepala belakangnya. "Kamarmu yang disebelah kanan, sedangkan kamar saya ada di seberangnya, tepatnya di sebelah kiri. Singkatnya, kamar kita berdua berhadapan," ungkap Seokjin, membuat tarikan pelan pada kemejanya terlepas karena sekarang wanita itu tengah sibuk melihat girang pintu coklat yang memiliki ukiran cantik. Sakura menoleh secara tiba-tiba, membuat Seokjin sedikit terkesiap dan langsung memalingkan wajah ke arah lain.

"Saya boleh masuk sekarang, kan, Pak Dosen?" Tanya Sakura, bola matanya memancarkan sebuah keantusiasan yang amat tinggi. Seolah tidak sabar menunggu jawaban yang akan dikeluarkan oleh pria yang empat belas tahun lebih tua darinya. Tanpa menatap, Seokjin menganggukkan kepalanya, menandakan jika Sakura sudah boleh masuk ke dalam kamar yang sebenarnya adalah sebuah kamar yang sering Jiseo gunakan untuk tidur jika ia menginap di rumah Seokjin. Membuat Sakura segera menekan gagang pintu, lalu meninggalkan Seokjin guna masuk ke dalam kamar. Suara pintu yang tertutup rapat seakan mengakhiri perbincangan mereka untuk hari ini.

LO(ST)VETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang