O P U S

293 51 28
                                    

Lunglai, aku lelah berkuda dari West End menuju Westminster. Aku yakin Deimos juga merasakan hal yang sama atau bahkan lebih capek lagi. Tanpa ke halaman belakang aku turun dari atas sadel kuda, berlari dan mendobrak pintu depan. Hanbin tepat berdiru di aula dengan sedikit limbung. Kemeja putihnya bernoda merah di dada. Masih basah, dan seperti yang aku duga. Luka itu pindah padanya. Tak sengaja kami bertatap. Langkahku perlahan karena berusaha berpikir logika, namun miliknya sangat laju. Ketika dekat, kami berhenti.

Plaak!!!

Sebuah tamparan. Keras. Bahkan kepalaku sempat pusing dan dunia seakan berputar. Apakah dia begitu marah padaku? Wajar saja, aku sudah ceroboh tadi. Aku pantas dihukum.

"DASAR BODOH!! KAU TAU BETAPA SULITNYA CARI PEMBANTU SEKARANG INI!!?"

"Maaf.. aku akan hati-" aku tertunduk karena berbagai alasan.

"INI BUKAN MASALAH SAKIT ATAU TIDAK! AKU BISA MENAHANNYA, AKU BISA SEMBUH SENDIRI, TAPI KAU MEMBUATKU CEMAS DAN MENGGANGGU URUSANKU. KAU TAU KAN AKU TIDAK SUKA DIGANGGU!!?"

Cemas?

"Maaf..."

Aku cemas sekali. Syukurlah Hanbin tidak apa-apa.

-------

"Masih mau hidup!?" Tanyaku mulai mereda.

"Bahkan setelah mati.. aku akan tetap melayanimu," jawabnya sambil tetap tertunduk.

"Jangan bicara seolah-olah kau pernah melewati kematian padaku!!"

"Maaf..."

Hanya itu saja yang dia katakan seusai celotehku berakhir. Tapi bahkan cengkok kata itu berakhir lebih cepat dari yang seharusnya. Hanya beberapa detik sebelum kusadari kalau dia terisak.

"Kau sudah paham kesalahanmu?"

"Sudah... maaf... ugh!"

Kenapa aku jadi merasa kasihan?

"Hei... kau menangis?"

"Maaf..."

-------

Sudahlah Jinhwan. Tidak apa-apa. Kau pernah ikut perang dan kenapa sekarang ini kau menangis? Bodoh sekali!

Untuk beberapa alasan aku membenci diriku sendiri. Dulu, sekarang, ataupun besok. Selalu saja begini pada akhirnya. Sejak awal aku selalu merepotkan orang lain. Bahkan paman harus berkorban untuk menyelamatkanku. Aku benar-benar bodoh. Tidak pantas bekerja. Lebih baik mati saja, toh tidak akan ada yang peduli.

"Maaf.." ujarku lagi meski dia tidak bertanya.

Lalu hangat, juga degup jantung. Rumah. Di situlah aku berasal. Detaknya perlahan, membuatku sadar kalau bukan karenanya aku mungkin tak bisa berdiri seperti saat ini. Benakku penuh rasa bersalah. Apakah itu wajar? Atau hanya dirinya saja yang terlalu baik seperti ini. Sudah berapa lama dia menderita?

Sudah berapa lama?

"Maaf..." kataku lagi, lagi, dan lagi. Tambah dengan isakan yang tak ingin kulontar membuat pelukannya semakin erat.

"Tidak apa-apa... lupakan saja.." Hanbin berbisik halus.

Ya, kelemahan Hanbin adalah dia mudah menaruh hati. Itu sebabnya dia bertingkah seolah-olah tak ada yang bisa menghentikannya. Meski separuh dari congkak dan cengkoknya adalah kenyataan.

Beberapa saat kemudian, tangan-tangan rumah itu sudah mendekap wajahku. Aku merasa malu karena sembab. Entah kenapa dia kembali tersenyum ketika menatap dua bola mata yang sedang kebanjiran ini. Badai itu seperti pergi begitu saja tertiup angin.

REDLINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang