P R O B L E M

457 61 6
                                    

"Begitulah, kau mungkin dapat sedikit kemampuan menerawang dari bibimu. Oleh karena itu begitu aku melihat sapu tanganmu, aku langsung bereaksi," ujar Hanbin sambil menghabiskan kantung darah keduanya malam ini.

"Apa itu berarti aku setengah 'jahat'? Maksudku, seperti Warlock atau penyihir?" Tanyaku sambil berusaha untuk tidak mengeluh.

"Warlock punya anggota tubuh yang terlihat mencolok. Seperti sisik, tanduk, dan sebagainya. Tapi bukan berarti kau juga bagian dari... apa namanya?" Pastor bertanya pada Hanbin

"Archangel?"

"Itu malaikat besar, tolol. Ehm... Nephilim! Kau tau kan? Malaikat-malaikat yang sudah 'dipecat' dari pekerjaannya dan hidup di antara kita atau alam bawah"

Aku jujur agak lelah mendengarkan orang tua yang tidak menua ini bercerita. Terima kasih karena tubuhnya, aku sudah tidak mual dengan darah. Tapi aku yakin kalau ini hanya beberapa saat saja. Kalau aku kembali ke wujudku, aku pasti sudah muntah-muntah. Sembari aku memakaikan perban pada tangan kanannya, pastor memainkan rambutku yang aku 'pinjam' dari Hanbin.

"Apa kau ada rencana besok, Jinhwan? Aku ingin membawamu bertemu seseorang," ujar Pastor sambil membersihkan topinya yang berdebu.

"Institut!? Kumpulan Nephilim sok suci itu!? Oh! Sekalian saja kau sebutkan di mana aku tinggal," Hanbin menghela nafas.

Aku mengganti perban di tangan kiri Hanbin. Entah kenapa aku merasa cukup lelah. Kecelakaan dari tadi siang, Hanbin membantingku, kemudian aku yang tidak terduga punya sesuatu yang aneh. Kepalaku terasa sakit sekali. Aku bahkan tisak bisa mendengar dengan jelas apa yang diperdebatkan antara Hanbin dan Reverend. Semuanya terdengar berteriak dan sekarang kepalaku berdengung. Kucoba untuk tetap fokus mengganti perban, tapi kelelahanku mengganggu sekali.

"Sudahlah! Aku mau ke kamar mandi dulu! Sazerac membuatku ingin terus ke kamar kecil," ujar Reverend.

Gulungan perban sudah mencapai ujung, tapi baru setengah dari lukanya yang belum tertutup. Beberapa rambut terperangkap ke dalam mataku. Terasa jelas oleh saraf kalau rusukku menyusut dan rasanya seperti remuk. Aku memeluk diriku sendiri.

"Ugh!"

"Jinhwan?" Aku menolak ketika dia berusaha menolongku.

Aku berusaha berdiri, mengambil perban lain dari kotak pertolongan pertama. Sakit ini membuatku oleng dan aku terjatuh. Beruntung Hanbin menangkapku, di tangannya yang terluka.

"M.. maafkan aku. Aku- argh!" Aku berteriak ketika sesuatu seperti menujamku keras.

"Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Li.. lihat aku. Jangan dipikirkan," Hanbin mengangkat wajahku dengan kedua tangannya yang hangat. Aku tidak pernah merasakan sesuatu sehangat ini. Hangat sekali, aku merasa nyaman.

"Tanganmu...-"

"Akan kulanjutkan nanti, terima kasih- Hwan!"

Kakiku mendadak lemas. Mati rasa. Berat tubuhku langsung saja membawaku jatuh. Pandangan kananku kabur, namun dengan sedikit warna merah. Sesak sekali rasanya, sampai aku menarik nafas kuat-kuat dan mengeluarkan bunyi. Tau-tau saja aku sudah berbaring di atas kasur. Hanbin terlihat khawatir. Ia menyeka sesuatu dari pipiku. Aku menutup kedua mata ketika dadaku kembali terasa remuk. Apakah aku akan mati? Oh, aku takut sekali.

"H.. han-"

Aku merasa lelah, dan rasa sakit ini menguras habis tenagaku untuk menahannya.

"Jangan dipikirkan, Hwan. DONGHYUK!" Ia hendak berlari mencari Reverend yang sedang ke kamar kecil.

Pandanganku kembali kabur dan menghitam, juga redup. Untuk yang kesekian kalinya, aku lari dari dunia untuk beberapa saat.

-------
Sudut pandang Hanbin

REDLINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang