B O B

267 29 39
                                    

"Aku pulang dulu, harus cuci baju," Chanwoo berpamitan padaku dan Ji Won.

"Ah, ya.. hati-hati kau bedebah," jawabku sambil membaca koran pagi ini, ada sebuah novel mingguan yang terbit dan sejauh ini babak yang kubaca adalah yang peling seru.

Ji Won kembali dari kamar tamu. Aku yakin kalau Jinhwan sudah cukup tenang untuk ditinggal sendirian. Pria itu duduk di hadapanku. Mungkin saja ada sesuatu yang ingin dia bicarakan di malam yang masih muda begini.

"Aku mau ke tempat Junhoe. Kau mau ikut?" Ajaknya.

"Tidak, aku harus di sini kalau Yunhyeong butuh sesuatu," pandanganku tak bisa lepas dari lembaran kertas buram ini.

Duk! Duk! Duk!

Suara seseorang menuruni tangga. Jika kita bicara hal ini di Westminster tentu saja Hanbin. Apa yang setan itu inginkan kali ini? Langkahnya terdengar semakin nyaring, dia menuju kemari. Cukup lama sebelum kepalanya yang basah muncul di ruang makan. Lengannya tak terbalut perban, luka-luka bakar itu terlihat sangat menyakitkan. Kemerahan, pucat, dan tidak sesuai dengan kulit luarnya. Dia berjalan ke arah lemari pendingin, mengambil sekantong darah, dan menutupnya lagi.

"Kalian bersenang-senang?" Ji Won bertanya, dia pun berusaha menahan tawa.

"Apa maksudmu?" Hanbin balik bertanya sebelum meminum makan malamnya.

Ji Won mengetuk-ngetuk koran yang menutupi wajahku. Dia tertawa terbahak-bahak. Saking lucunya dia pun tidak bersuara.

"Pulanglah Ji Won, ini sudah malam," usir Hanbin, halus.

"Ah iya, aku dipecat hari ini. Pemakaman Whitechapel sudah bukan rumahku lagi"

"Tapi bukannya kau yang meminta dibangunkan rumah di atas tanah kuburan? Westminster Abbey pun mengakui kalau itu milikmu!" Aku pun gemas dengan kebodohan Ji Won.

"Benarkah?" Pria itu sendiri terkejut.

"Donghyuk kau juga sebaiknya pulang. Istirahatlah di akhir pekan, pergi ke gereja atau apalah," Vampir ini pun juga mengusirku.

"Apa kau bisa menjamin kondisi Yunhyeong akan baik-baik saja?" Tentu saja aku tak ingin ada lagi korban akibat kelalaianku.

"Ya, pergilah sebelum bus kota terakhir berangkat"

"Baiklah, aku akan mengambil barangku di ruang bawah," aku beranjak.

Aku tau kami bertujuh sering merepotkan Hanbin. Itu sebabnya aku sendiri tidak begitu keberatan jika diusir. Belakangan ini kami sering berkumpul dan mungkin itu membuatnya gerah. Sambil membuka pintu aku menghela nafas. Kenapa Hanbin menaruh saklarnya di bawah sana? Berat hati dan takut aku perlahan turun ke lantai bawah, jasad Tuan Virgil pun masih berada di sana. Jantungku berlari, semakin kencang saat aku jauh dari cahaya. Gelap mencekam, seolah-olah memelukku lebih erat saat langkahku turun satu pijakan. Decit pijak kayu ini membuatku menggila dengan segala suasana ini. Buru-buru dan merasa terancam aku mencari saklar lampu. Tiap detiknya berharga seolah-olah akan ada hantu yang menyerangku.

Ctek!

Cahaya kuning lampu merebak menerangi ruangan. Aku selamat, tak ada mayat hidup atau hantu yang memakanku. Langsung saja aku mengambil semua peralatanku dari sana. Pisau-pisau bedah, penjepit, gunting, jarum dan benang, juga kloroform, semuanya sudah masuk ke dalam tas. Sesaat aku memandangi kantong jenazah yang berada di atas meja. Tuan Virgil tak akan bangun lagi, bukan? Aih! Berpikir apa kau ini, Donghyuk!?

Perjalanan kembali ke atas mungkin lebih berat lagi. Sembari berdiri di hadapan saklar lampu aku menghela nafas, menguatkan diri.

Cklek!

REDLINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang