O N E

159 30 21
                                    

"Inspektur, boleh aku masuk?"

Entah kenapa bocah ini memilih untuk menemuiku ketimbang makan siang. Padahal waktu istirahat tinggal sebentar lagi. Apa yang dia inginkan kali ini?

"Ya, masuk saja"

Rambutnya berantakan. Seolah-olah burung walet habis bersarang di sana. Aku tau apa yang diinginkan bocah ini, dia ingin pindah rumah tapi tak sudi membayar harga. Tapi biarlah aku putar-putar dulu.

"Kau tidak menyisir rambut?" Tanyaku

"Tidak. Anu.. bisakah aku tinggal di Carnaby? Minimal dengan Ji Won atau Donghyuk," Rupanya Chanwoo tak ingin berbasa-basi.

"Kenapa? Kau takut tinggal sendirian?" Tanyaku.

"Ya. Aku mendengar suara-suara kemarin"

"Kau tidak salah dengar, bukan? Tetanggamu mungkin? Aku tau indekos itu hal berat"

"Suara-suara itu mengancamku"

Baiklah, aku yang menyeretnya pada masalah ini. Mungkin akan lebih baik jika aku melindunginya juga. Jika harus jujur, markas Pandemonium punya cukup perlindungan untuk Chanwoo tapi dia bukanlah seorang Warlock. Aku bisa dimarahi para Elite jika begini.

"Apakah ancaman itu berkaitan dengan pengelihatan terakhirmu?" Tanyaku lagi.

"Ya, aku mulai khawatir soal kutukan yang pernah kau katakan tempo hari"

"Aku akan beritau Ji Won soal ini. Bisa kau beritau apa yang kau lihat dalam mayat Tuan Virgil?"

"Sebelumnya aku minta maaf karena tak akan banyak bicara"

Chanwoo mengambil sebuah kertas kosong dan pena dari mejaku. Kukira dia akan menulis sesuatu yang panjang, namun tidak. Dua buah nama, dengan sebuah panah yang menunjukkan kalau dua orang ini memiliki hubungan. Kemudian bocah itu menggambar beberapa kepala anjing, sebuah kurungan dan sebuah gereja.

"Kawanan Virgil diculik ke Institut?"

Chanwoo mengangguk. Tangannya kembali mencoret-coret pada lembar kosong di hadapannya.

'Aku temukan senjata pembunuhnya'

Bocah ini benar-benar nekat. Bagaimana kalau terjadi sesuatu padanya? Chanwoo mengambil sesuatu dari saku bayonet, dia mengeluarkan sebilah pisau patah.

"Milik Robert Lutece," Chanwoo akhirnya duduk pada sebuah kursi di hadapan mejaku.

"Chanwoo- kau tau ini berbahaya, bukan?"

"Dengan segala hormat, jika kau mau kekacauan ini selesai kau harus segera menyeret wanita itu ke pengadilan, Inspektur!"

Baru kali ini aku mendengar Chanwoo bersuara keras padaku. Seperti ada sebuah dendam yang tertanam pada hatinya. Apakah karena eksperimen itu membuatnya kehilangan sesuatu? Chanwoo menundukkan kepala setelah dia puas menasehatiku, mungkin bocah ini siap untuk menerima amarah orang lain. Kali ini aku mengalah, dia benar.. tapi tentu saja ada hal yang harus dipertimbangkan.

"Aku mengerti. Apalagi yang kau temukan?"

Chanwoo kembali mengambil pena. Dia terdiam untuk beberapa saat. Kali ini dia menggambar beberapa kepala serigala dengan mahkota, dan seorang manusia biting dengan gigi taring yang panjang. Hampir semua serigala tampak memusuhi manusia itu, hanya beberapa yang bertampang ramah.

"Para Werewolf mencurigaiku? Kenapa?" Tanyaku pada Chanwoo. Bocah itu menggeleng.

"Ingat ayah?" Dia balik menanya.

REDLINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang