“Apa?! Aku harus menikahinya?” Sooyeon menunjuk pria di hadapannya. “Yang benar saja.” Gadis itu mendengus kasar, membuang muka.
“Kamu tidak dalam kapasitas untuk menolak, Sooyeon!” Sandara berucap dingin. “Ini satu-satunya cara agar kamu tetap kuliah dan menjaga kandungan kamu.”
“Munafik!” Sooyeon balas berkata dengan dingin. “Ah..jadi kakak sekarang ingin aku nikah sama cowok kakak buat nutupin aib aku, gitu?” Sooyeon berucap mencemooh. “Munafik banget”
“Sooyeon, ini juga demi kebaikan kamu.” Kali ini Donghae yang kembali berucap. “Kalau kamu memang terbebani dengan pernikahan ini, kita bisa mengakhirinya kapan saja.” Pria itu menghela nafas “Tapi setidaknya untuk sekarang, kamu bisa tetap kuliah dan menjalani hidup kamu.”
“Sekarang kalian berdua ingin berkorban perasaan gitu? Jadi pahlawan untukku?” Sooyeon bangkit dari duduknya, memandang tajam. “Aku ngak butuh belas kasihan kalian.”
Sooyeon mendengus kasar, bersiap melenggang pergi. Namun sebelum gadis itu memegang knop pintu kamar, lirihan kakaknya yang menyahut namanya sanggup membuat dirinya membeku sesaat.
“Kakak mohon, Sooyeon....Kakak sayang sama kamu, kakak ngak mau kamu berakhir kaya gini..”
“Baiklah kalau itu mau kakak.” Sooyeon berucap tanpa menoleh. “Aku harap kalian ngak akan menyesal.” Pintu itu kembali tertutup, berdentum keras. Menciptakan keheningan yang menyesakan.
***
Jisoo kemudian melihat kilasan-kilasan. Kilasan pernikahan wanita itu dan ayahnya, bagaimana mereka menjalani hidup mereka setelahnya.Wanita itu terus bersikap dingin, pernikahan yang hanya seperti sebuah ikatan formal tanpa perasaan. Kilasan bagaimana bibinya terkadang menangis dalam diam menahan kesakitan seorang diri.
Ayahnya yang hanya bisa memandang wanita yang dicintainya dari jauh pun dengan bibinya yang hanya memandang terluka kepada pria dicintainya.
Kilasan wanita itu yang membenci kandungannya dari hari ke hari, tak ada satu pun kelembutan seorang ibu yang ditunjukannya. Bagaimana marahnya wanita itu begitu mengetahui bahwa bayi yang di kandungnya ternyata ada dua, bayi kembar.
Wanita itu bahkan sengaja untuk tidak makan, sengaja untuk tidak memenuhi kebutuhannya seolah dengan seperti itu bayi-bayi di dalam kandungannya meluruh dengan sendirinya.
Bahkan di hari kelahiran bayi-bayi itu, wanita itu sama sekali tak ingin menyusui bayi-bayinya, sama sekali tak tersentuh hatinya mendengar tangis kedua buah hatinya.
Hanya bibi dan ayahnya yang menjaga mereka berdua, merawat mereka seperti anak sendiri. Hingga Jisoo dan Joohyun tumbuh menjadi balita 4 tahun, wanita itu sama sekali tak memperdulikan mereka. Ketika mereka mendekat, hanya ada kemarahan yang didapatkan, seolah wanita itu tak tahan berada dekat dengan anak-anaknya.
Bibi dan Ayahnya pun dengan sabar menghibur ketika mereka menangis merasa tak di perdulikan oleh ibu sendiri. Pengertian bahwa ibu mereka hanya sedang sibuk dan tak ingin diganggu, bukan karena ibu mereka tak mencintai mereka.
Dan tentu saja pikiran polos seorang anak kecil percaya akan kata-kata itu, berharap suatu saat ibu mereka tak lagi sibuk dan dapat bermain dengan mereka, harapan polos seorang anak.
Jisoo hanya memandang miris, nyatanya wanita itu tak pernah mencintai mereka, nyatanya ia tak akan pernah mencintai anak-anaknya. Kadang Jisoo pun bertanya-tanya bagaimana bisa seorang ibu sama sekali tak tergerak hatinya setitik pun untuk mencintai anak-anaknya, namun wanita itu menjadi bukit bahwa ia adalah ibu itu, ibu yang sama sekali tak tergerak hatinya untuk mencintai anak-anaknya.
Kilasan yang selanjutnya Jisoo lihat adalah bagimana wanita itu meninggalkan mereka, tanpa belas kasihan.
“Sooyeon, apa kamu tega meninggalkan anak-anakmu? Jangan, Sooyeon. Kakak mohon.”
Bibinya menggengam tangan sang adik yang kini tengah memasukan baju-bajunya ke dalam sebuah koper, menghentikan pergerakan tangan itu.
“Sooyeon, Kak Donghae baru saja meninggal, satu bulan yang lalu. Dan sekarang kamu mau pergi? Kamu ngak akan setega ini kan, Sooyeon?”
Kali ini suara sang bibi tercekat, memang Donghae meninggal sebulan yang lalu dalam sebuah kecelakaan, dan tentu saja itu menjadi kesedihan yang mendalam. Namun Sooyeon seolah tak peduli, menepis tangan sang kakak kasar, melanjutkan memasukan baju-bajunya dalam koper.
“Aku ngak punya masa depan kalau terus berada di sini. Aku ngak mau terus-terusan berada di sini.” Sooyeon berucap dingin.
“Tak cukupkah masa depan kamu sama kakak dan anak-anak kamu? Kami juga menderita, Sooyeon. Kita seharusnya saling menguatkan, ngak seharusnya kita--”
“Aku ngak mau punya masa depan menyedihkan dengan kalian. Aku ngak mau!” Wanita itu setengah berteriak, menyeret kopernya cepat, melangkah keluar. Menyentak tangan sang kakak kasar tak peduli, terus melangkah.
“Ibu jangan pergi!” Seruan serta tarikan tangan mungil kedua balita itu menahannya yang kini telah memegang knop pintu luar. Kedua balita itu menangis serta memohon kepada ibu mereka untuk tak pergi, memeluk dengan erat sang ibu, berharap sang ibu berubah pikiran.
“Lepas!”
Sooyeon membentak kasar, mendorong kedua balita itu hingga terjatuh dan hanya mampu menangis. Kali ini wanita itu kembali melangkah keluar tak memperdulikan lagi tangis menjerit-jerit kedua balita yang ditinggalkannya.
Wanita jahat..kau bahkan tak menoleh kepada putri-putrimu yang menangis menjerit-jerit....wanita jahat...seharusnya kau...seharusnya..kau setidaknya berbalik...wanita jahat..
Jisoo menahan gejolak tangis yang ingin meledak. Hanya mampu menantap miris pada dirinya dan Joohyun balita yang menangis meraung memanggil ibu mereka. Rasanya sangat sakit melihat sendiri bagaimana seorang ibu tega meninggalkan putri-putrinya, bahkan tanpa menoleh sedikit pun, tanpa keraguan setitik pun.
“Aku tak ingin berada di sini.”
Jisoo berucap lirih kepada anak kecil yang kini duduk di sebuah sofa tak jauh dari dirinya, tubuhnya gemetaran ketika memohon.
“Aku tak ingin di sini, komohon...”
Ia tak sanggup lagi merasakan kesesakan ditinggalkan oleh ibu kandungnya sendiri. Selama ini ia ingin melupakan kenangan pahit itu, melihatnya secara langsung membuatnya merasakan sakit yang sama, sesak dan pilu yang mengirisnya perlahan-lahan.
Anak kecil itu hanya memandangnya datar tanpa ekspresi. Namun perlahan demi perlahan kesadaran Jisoo menggelap, semakin gelap hingga akhirnya menutupi segala kesadaran yang tersisa, Jisoo kembali kehilangan kesadaran.
Ibu......mengapa ibu sejahat ini.?? Mengapa ibu meninggalkanku..???
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
EMBRACE THE DESTINY
FanfictionKim Jisoo, gadis cantik yang menolak takdirnya, gadis yang ingin melawan takdir kejam yang menyakitinya berkali-kali. Ia akan melakukan apapun untuk lari dari takdir kejamnya, bahkan jika itu berarti melenyapkan diri sekalipun. Namun mampukah seoran...