"Sadarlah."
Sentakan itu membuat Jisoo sadar sepenuhnya. Kini ia perlahan membuka kedua netra kelamnya. Gadis itu terpaku begitu mengetahui bahwa kini ia berada di area apartement Suho.
Beberapa meter di hadapannya, terlihat kerumunan orang-orang yang mengelilingi sesuatu, beberapa diantaranya memandang ngeri dan miris. Terdengar bunyi sirine silih berganti, dengan polisi yang berusaha menghela para warga yang berkerumun dengan memasang garis polisi.
Tanpa sadar Jisoo melangkah mendekat, gemetar penuh antisipasi. Namun tiba-tiba seorang polisi berlari ke arahnya, terburu-buru menuju mobil ambulans yang berada beberapa meter di belakangnya.
Sebelum Jisoo sempat mengelak, polisi itu berlari menembus dirinya, seolah ia tak berdiri disini. Jisoo terpaku, masih merasakan dengan jelas dirinya di lewati begitu saja layaknya benda transparan.
"Di sini kau tak akan bisa menyentuh apapun, dan tak akan ada yang melihatmu, ingat kau hanya seorang penonton." Anak kecil itu berucap datar, melangkah lebih dulu menuju kerumunan orang, melangkah lurus dan juga menembus orang-orang itu.
Tersadar dari keterpakuan, Jisoo kembali melangkah berusaha untuk menghindari orang-orang yang berkerumun. Dan terlihatlah dengan jelas pusat dari kerumunan orang-orang.
Itu adalah dirinya......
Tergeletak mengenaskan dengan darah merembes memenuhi aspal pun dengan gaun putih yang telah berubah menjadi merah pekat yang mengerikan.
Perlahan suara bising sirine pun dengan para petugas yang menghela kerumunan orang-orang terdengar semakin samar. Untuk beberapa saat Jisoo hanya bisa terpaku pada dirinya yang terbujur kaku mengerikan.
Rasa sesak langsung memenuhinya mana kala mengingat alasan mengapa ia mengakhiri hidupnya dengan cara yang sangat tragis.
Ia tak pernah sekali pun berpikiran untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Seberat apa pun kehidupan ini melawannya, ia akan tetap bertahan sampai akhir.
Akan tetapi pada akhirnya ia menyerah, dirinya tak sanggup menerima kenyataan bertubi-tubi yang menyakitinya tanpa ampun. Pada akhirnya ia pun memilih kematian, ironi yang menyedihkan.
"Jisoo! Jisoo!!!!"
Jisoo tersentak begitu mendengar jeritan seseorang yang berlari dari kejauhan. Itu saudari kembarnya, Joohyun. Gadis itu memberontak begitu para petugas melarangnya melewati garis polisi.
Menjerit histeris dengan tangis membendung. Berusaha sekuat tenaga untuk menerobos walaupun usahanya sia-sia, pada akhirnya tubuh itu meluruh dengan masih menjeritkan namanya pun dengan tangis histeris.
Jisoo hanya bisa memandang miris sang saudari kembar yang menangis histeris tak berdaya. Rasanya hatinya pun teriris perlahan mana kala tangis saudari kembarnya semakin pilu, mengucap namanya dengan pilu.
"Jisoo!!!"
Gadis itu kembali terpaku begitu mendengar suara yang tak asing memanggil namanya, Taeyong. Pria itu berlari cepat, menerobos dengan cepat tak peduli beberapa petugas yang melarangnya. Pria itu terpaku pada dirinya, dirinya yang terbujut kaku.
Dengan gemetaran meluruh tak mampu menopang tubuhnya. Pria terisak dalam diam, tangisan dalam yang menyayat hati. Orang-orang pun hanya bisa memandang sedih dan simpati, mersakan kesedihan yang menyesakan hati yang terdalam.
Tanpa sadar Jisoo pun tak dapat membendung air matanya juga, merasakan kesesakan yang sama semakin lama melukainya. Untuk sesaat gadis itu pun ikut larut dalam tangis yang mendalam, semakin menyiksa mana kala sebagian dirinya seolah mengutuk tak seharusnya ia mati seperti ini, tak seharusnya ia membiarkan tangis kedua orang ini melukainya.
Sebelum kegelapan kembali mengusainya, perlahan dirinya seolah kembali tertarik. Pada akhirnya gadis itu kembali dikuasai kegelapan yang membawanya menjauh.
***"Kau memiliki orang-orang yang mencintaimu dengan tulus."
Begitu Jisoo kembali tersadar, ucapan anak kecil itu kembali menggema. Kini mereka telah kembali berada di ruang putih dengan gelembung yang memenuhinya.
"Kau tidak seharusnya meniggalkan mereka."
Anak kecil itu kembali berucap dengan tenang, memandang lurus ke netra kelamnya.
"Tidak."
Jisoo berucap datar, balas memandang anak kecil bernetra jingga di hadapannya dengan dingin.
"Mengapa mereka baru menangis sekarang, huh? Di saat..di saat aku tersiksa dan terpuruk semakin dalam..dimana mereka?? Dimana mereka ketika kubutuhkan,huh??"
Jisoo berucap tajam dan dingin, berusaha mengenyakan segala perasaan sedih dan bisikan penyesalan yang terngiang-ngiang di benaknya. Membentengi dirinya dengan kuat, tak membiarkan perasaan-perasaan kesedihan merayap tembus.
"Kau terlalu berburuk sangka." Anak kecil itu hanya memandang datar, berjalan mendekat hingga berdiri di hadapan gadis itu. "Kau terlalu memandang negatif hidup ini."
Jisoo memalingkan muka, terlihat muak dengan perkataan anak kecil di hadapannya. Seolah anak kecil ini tahu hidupnya saja hingga menghakimi semaunya saja.
"Aku mengetahui semuanya, lebih dari dirimu, manusia." Kali anak kecil itu berucap dingin. Perlahan ia menggerakan jari-jarinya dan sebuah gelembung kini tepat berada di hadapannya, melayang dengan konstan.
"Sepertinya kita masih harus melihat gelembung-gelembung yang lain." Anak kecil itu kembali memfokuskan pandangannya pada gelembung di hadapannya.
"Kita akan melihat awal mula kehidupanmu."
Dan kembali, kesadaran gadis itu direnggut perlahan. Membuat dirinya hanya bisa pasrah tenggelam dalam kegelapan yang menyesakan. Namun sebelum kesadarannya terenggut sepenuhnya, gadis itu dapat mendengar sebuah bisikan, bisikan hatinya yang terdalam.
Maaf karena meninggalkan kalian, Joohyun..Taeyong........
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
EMBRACE THE DESTINY
FanfictionKim Jisoo, gadis cantik yang menolak takdirnya, gadis yang ingin melawan takdir kejam yang menyakitinya berkali-kali. Ia akan melakukan apapun untuk lari dari takdir kejamnya, bahkan jika itu berarti melenyapkan diri sekalipun. Namun mampukah seoran...