Jisoo tak dapat menahan senyumnya mana kala ayahnya, pria yang lebih pantas disebut ayah kini berada di hadapannya. Pria ini adalah sosok ayahnya. Jisoo juga tak dapat mengetahui dengan jelas bagaimana hubungan ayah dan wanita itu maupun bibinya karena usianya yang masih belia.
Tapi pria ini yang menjadi sosok ayahnya. Ayah yang sangat menyanginya, bermain bersamanya dan Joohyun serta menjaga mereka dengan penuh kasih sayang. Namun diusia yang ke 4 tahun pria itu pergi, dulu Jisoo hanya mengira ayahnya pergi bekerja jauh di sana, barulah ketika ia semakin dewasa ia mengerti bahwa ayahnya telah meninggal dalam sebuah kecelakaan, pergi dan tak akan kembali lagi.
Sepertinya memang orang-orang baik terbiasa pergi terlebih dahulu. Dan pada akhirnya ia pun juga mengetahui bahwa pria yang ia anggap sebagai ayah bukanlah ayah kandungnya.
Walaupun begitu bagi Jisoo, saat-saat 4 tahun masa kecilnya adalah masa yang begitu indah untuk ia kenang. Sebuah ingatan yang walaupun semakin samar seiring berjalannya waktu, ingin dikenang selamanya oleh Jisoo.
"Sepertinya kau izin dari panti, yah? Tadi aku datang ke panti dan kau tak ada di sana."
Ayahnya berucap pelan. Ia yang bekerja sebagai petugas pemadam kebakaran juga sering mengunjungi, lebih tepatnya menjadi relawan di panti asuhan tempat bibinya bekerja.
"Ah..iya. Aku memang mengambil cuti hari ini."
Bibinya berucap pelan, pikirannya seperti terpecah dan itu dapat dibaca oleh pria di hadapannya.
"Terjadi sesuatu?" Pria itu bertanya khawatir, sepertinya firasatnya benar, bahwa gadis di hadapannya ini tengah dirundung masalah.
Sebelum gadis itu membuka suara, terdengar suara erangan kesakitan dari arah kamar Sooyeon, adiknya. Ia dan pria itu saling melempar pandangan khawatir yang sama.
Sandara berbalik cepat, segera menuju ke kamar adiknya disusul oleh Donghae. Jisoo pun sama terkejutnya ketika mendengar suara erangan kesakitan itu, ia pun mengikuti langkah bibi dan ayahnya ke kamar itu.
Mereka bertiga sama-sama terkejutnya begitu melihat Sooyeon terbaring di ranjang menahan kesakitan. Terdapat pil-pil yang sepertinya telah diminum gadis itu berserakan di lantai. Sandara menyeru kaget segera mendekat ke arah adiknya, pun dengan Donghae yang juga mendekat dengan kekhawatiran yang sama.
"Kak, kita harus segera bawa Sooyeon ke rumah sakit!"
Sandara berseru cepat, kepanikan seolah menguasainya mana kala melihat adiknya menahan kesakitan pun dengan darah yang mulai mengalir di bawah sana menembus gaun yang ia kenakan. Dengan sigap Donghae mengangkat tubuh itu, bergegas menuju rumah sakit diikuti Sandara.
"Ayo kita ke sana."
Sebelum Jisoo sempat berkata, anak kecil yang tadinya hanya memperhatikan di ujung ruangan berucap pelan, menjentikan jarinya dan dalam sedetik mereka telah berada di sebuah ruang UGD rumah sakit dengan wanita itu terbaring serta bibi dan ayahnya yang berdiri menunggu.
“Jadi Sooyeon hamil?”
Donghae bergumam pelan tak dapat menyembunyikan keterkejutannya setelah mendengar semuanya dari Sandara. Sooyeon meminum sebuah pil yang entah dari mana didapatkannya, sebuah pil keras yang mampu menggugurkan kandungan.
Untung saja dirinya cepat di bawah ke rumah sakit untuk mendapat pertolongan, kalau tidak mungkin bukan hanya bayi dalam kandungannya yang berada dalam bahaya, tetapi dirinya juga bisa meninggal karena mengalami pendarahan hebat.
Akhirnya Sandara menceritakan semuanya, kehamilan Sooyeon dan pria brengsek yang tak ingin bertanggung jawab, juga betapa Sooyeon tak mengingkan kandungan itu dan ingin menggugurkannya. Pada akhirnya mereka hanya terdiam untuk waktu yang lama, sama-sama larut dalam pemikiran masing-masing.
Jisoo perlahan melangkah mendekat, terpaku pada wanita yang kini terbaring lemah di ranjang dengan infus yang membantunya. Wanita ini sepertinya memang sama sekali tak menginginkan dirinya dan Joohyun.
Walaupun ia memang telah mengetahui bahwa ibunya tak menginginkannya, tetap saja rasanya sakit ketika melihat langsung dengan mata kepalanya sendiri bahwa wanita ini dengan tega meminum sebuah pil untuk membunuh kandungannya, membunuh dirinya dan Joohyun.
“Aku akan bertanggung jawab.”
Donghae berucap mantap, memecah keheningan. Sandara memandang terkejut pada pria di hadapannya, mencari kebercandaan dalam perkataannya, namun pria itu memandang tepat di matanya, dengan keseriusan yang tak terbantahkan.
“Kak, ini masalah serius..kakak jangan bercanda.” Sandara menghenbuskan nafas kasar “Kakak juga harus memikirkan diri kakak.”
“Apa aku terlihat bercanda, Sandara?” Pria itu berucap datar “Dengan aku menikahi Sooyeon, ia akan tetap melanjutkan kuliahnya tanpa menanggung malu. Ia akan tetap mendapatkan masa depannya.” Pria itu kembali berucap dengan sangat serius. Sandara hanya memandang tak percaya.
Jisoo pun juga tak dapat menutupi keterkejutannya mendengar penuturan ayahnya. Jadi itulah mengapa pria di hadapannya menjadi ayahnya, ia bertanggung jawab pada kesalahan yang sama sekali tak ia perbuat.
“Apa kakak kasihan? Kasihan melihat Sooyeon jadi kakak lebih memilih mengorbankan perasaan kakak....dan juga perasaanku?”
Sandara memandang terluka, tanpa sadar air mata menetes dari netra coklat itu, sebuah kesedihan nyata terpatri jelas, menyesakan hati.
“Sandara..” Donghae berucap lirih, merasakan kesakitan yang sama “Sooyeon adik kamu..apa kamu tega ia seperti ini? Apa kamu ingin melihat dia menderita seperti ini? Bahkan dengan tega ia ingin membunuh bayinya...jika ia punya seseorang untuk bertanggung jawab maka ia bisa melanjutkan hidupnya.”
“Lalu bagaimana denganku, kak? Apa aku tidak menderita? Pria yang kucintai ingin menikahi adikku? Apa aku tak menderita?” Kali ini Sandara tak mampu lagi menahan tangisnya, walaupun ia berusaha meredamnya sekalipun.
Jisoo memandang tak percaya pada apa yang ia lihat, tanpa sadar membekap mulutnya terkejut. Jadi ayah dan bibinya saling mencintai? Tak hanya berkorban untuk kesalahan yang tak mereka perbuat, mereka juga harus rela berkorban perasaan?
Bibinya kini terisak dalam diam pun dengan ayahnya yang hanya bisa memandang dengan kesakitan yang sama, tak tahu harus berbuat apa.
Gerakan di ranjang itu perlahan memecah kesedihan yang terbentang di antara mereka. Wanita itu perlahan mengerjapkan matanya, mengumpulkan kesadaraan.
Ketika pada akhirnya kesadaran telah menguasainya, ia memegang perutnya. Bukan mengkhawatirkan keadaan kandungannya, melainkan mengharapkan kandungan itu telah lenyap dari perutnya.
“Sooyeon, kau tak apa?” Donghae berucap memecah keheningan. Memperhatikan gadis di hadapannya yang sepertinya telah sadar sepenuhnya.
“Apa kandunganku sudah lenyap?”
Sooyeon berkata cepat, tak peduli dengan kekhawatiran pria itu. Hanya berharap bahwa kandungannya lenyap tak membekas.
“Sooyeon! Jangan berkata seperti itu!” Donghae mendesah kasar. “Kau tak seharusnya berusaha membunuh kandunganmu, itu adalah bayimu!”
“Tak usah sok peduli denganku” Sooyeon mendengus tak peduli. “Seharusnya kalian tak membawaku ke sini, menyebalkan.” Sooyeon bergugumam marah.
Kandungannya nyaris saja lenyap, kalau bukan karena mereka berdua yang membawa mereka ke sini. Seharusnya ia meminum pil itu ketika sendirian, tetapi keinginannya untuk melenyapkan kandungan ini terlalu besar, ia ingin segera melenyapkannya.
“Jangan berucap seperti itu, Sooyeon!” Sandara menghardik tegas. “Bukan hanya kandunganmu, kau juga bisa mati kehabisan darah jika kita tidak segera membawamu ke rumah sakit. Kau seharusnya tidak melakukan tindakan bodoh.” Sandara melanjutkan ucapannya dengan dingin.
Sooyeon hanya memandang tak peduli, membuang muka muak. Memang siapa yang ingin diselamatkan? Kalau pun ia mati juga tak ada masalahnya, semuanya sama saja.
“Kerumitan manusia.” Anak kecil yang juga ikut memperhatikan di sisi lain ranjang, tepat di hadapan Jisoo.
Setelahnya pandangan netra jingga dan kelam itu bertemu, dan sedetik kemudian mereka kembali berpindah, kali ini kembali ke rumah bibinya. Ruang tamu sederhana yang kini telah memperlihatkan bibi, ayah, dan wanita itu.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
EMBRACE THE DESTINY
FanfictionKim Jisoo, gadis cantik yang menolak takdirnya, gadis yang ingin melawan takdir kejam yang menyakitinya berkali-kali. Ia akan melakukan apapun untuk lari dari takdir kejamnya, bahkan jika itu berarti melenyapkan diri sekalipun. Namun mampukah seoran...