Chapter 27

4.7K 300 254
                                    

I don't have an attitude problem
You have a problem with my attitude
And that's not my problem
Anonim
______________________________________

Jakarta, 15 Januari
07.00 a.m

Hari senin, hari pertama masuk sekolah setelah liburan panjang. Hari di mana segala rutinitas sebagai siswa di mulai. Maksudku, mulai belajar lagi, mulai memperhatikan pelajaran yang di terangkan guru lagi, dan mulai ada tugas menumpuk lagi. Berbeda denganku, senin pagi ini kumanfaatkan dengan melamun.

Kau tahu pasti apa yang sedang kulamunkan. Ya, kau benar. Jayden Wilder.

Bagaimana tidak? Setelah apa yang ia lakukan padaku kemarin, lalu mengobrol dengan kakaknya yang luar biasa unik itu. Aku baru sadar mereka sebelas dua belas. Senyum, getstur tubuh, wajah datarnya bahkan kelakuannya pun mirip. Bayangkan saja, kak Jameka dengan santainya bertanya, "uda nananina?"

Aku yakin saat itu pipiku yang sudah merah semakin menjalar ke seluruh wajahku. Aku harus menjawab apa ketika Jayden baru saja melakukan sesuatu yang ia sebut making out? Entah itu termasuk kategori nanina atau bukan.

"Kepo aja lo." Kala itu Jayden yang menjawab. Aku tidak dapat memutuskan harus bersyukur karena terselamatkan dengan jawaban itu atau malu pada kak Jameka yang cengar cengir karena jawaban Jayden yang ambigu. Sudahlah, aku akan sinting jika memikirkannya.

Belum lagi saat Jayden mengantarku ke rumah naik mobil hummernya. Bukan naik mobil mini cooper kuningku. Ia sangat anti pati naik mobilku, entah apa masalahnya. Ia malah menyuruh Lih yang menyetir mobilku sampai rumah. Lalu Lih akan ikut dengan mobilnya ketika pulang. Ribet sekali.

Dan kau tahu betapa aku tidak bisa memandang wajahnya sedikit pun selama perjalanan. Anehnya lagi wajahnya itu malah senyum terus sepanjang jalan ketika kulirik secara diam - diam. Senyumnya seperti bahagia dan bangga.

Bagian yang paling membuatku penasaran adalah obrolannya dengan kak Jameka tentang nenek sihir -  entah siapa itu, atau si brengsek yang kecelakaan akibat perbuatan Jayden. Tapi jelas aku tidak bisa menanyakan hal itu padanya karena kau tahu sendiri penyebabnya. Jadi sepanjang jalan aku terus saja menggigiti kukuku karena penasaran sekaligus malu.

Hujan sudah reda sore itu, suasana kota Jakarta jadi sejuk dan dingin. Sesampainya di rumah sebelum turun mobil ia memakaikan jaket hitamnya yang selalu tersampir jok di mobil kemudian menggendongku lagi, padahal aku sudah menolaknya berkali - kali karena bisa jalan sendiri. Lalu bagian yang paling seram adalah ketika Jayden menghadap daddy dan kak Brian.

"Maaf om Baldwin, Mel terkilir gara - gara saya." Terangnya setelah mendudukanku di ruang tamu.

Kau tahu apa yang di lakukan daddy dan kak Brian? Mereka masing - masing melayangkan tinju di wajahnya yang sudah ada beberapa luka akibat insident pagi itu. Aku sampai berteriak karena Jayden diam saja tidak melawan.

Tapi hanya itu saja, setelah Jayden dicerhami panjang kali lebar, mereka kembali seperti sebelum - sebelumnya, mengobrol santai seolah - olah daddy dan kak Brian tidak pernah menonjoknya. Aku paham, mereka hanya kesal karena aku terkilir, padahal bukan itu alasan yang sebenarnya.

Tapi syukurlah karena hal itu aku jadi bisa mengobrol dengan Jayden lagi walau masih malu.

"Pulang ya, kasian Lih nunggu di mobil." Pamitnya sambil mengusap puncak kepalaku seperti kucing. "Ini buat kakimu," tambahnya menyerahkan salep thrombopop gel kepadaku.

Bad Boy in the MaskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang