05

1.7K 158 27
                                    

Dasha biarkan hangat cokelat dalam cangkir itu menyentuh bibirnya. Masuk ke dalam mulutnya, mengalir ke kerongkongannya. Jemari itu saling bertaut selagi menggenggam benda berbahan keramik. Netranya terarah ke depan. Kosong. Sedangkan akalnya membumbung terlalu jauh. Kembali menyusuri kepingan kejadian beberapa menit yang lalu.

Ia tak habis pikir, bagaimana spesies seperti Vean masih hidup pada zaman seperti ini. Harusnya, lelaki careless itu punah saja bersama tirex. Begitu rapal doanya.

Jelas, dengan sepasang matanya sendiri, Dasha menangkap sosok Vean melewatinya. Sempat melempar pandang hingga keduanya bersitatap sepersekian detik. Namun, tak juga lelaki itu berhenti. Tak juga meminggirkan motornya. Apalagi menolongnya.

"Lo tidur sini aja." Dasha mendongak. Sadarnya tertarik paksa ke alam nyata. Ditatapnya Mila yang berdiri di depannya sebelum mengambil alih sisi kosong sofa sebalah kirinya.

Gadis itu menurunkan cangkir cokelat yang digengamnya. Lantas mengembuskan napas lega. Ia percaya satu hal dengan materi yang disampaikan guru pendidikan agamanya tadi siang bahwa Tuhan Maha Mendengar. Buktinya, saat ia tak lagi dapat mengharapkan Vean, entah dari mana Mila muncul di hadapannya. Berbekal jurus karate yang dikuasianya, sukses menumbangkan lelaki hidung belang yang mengganggunya.

"Nyokap sama bokap lo ...." Kalimat Dasha menggantung.

Mila menaikkan kakinya ke sofa. Melipatnya. Lantas bersila. "Honey moon. Norak emang. Tahu gini, gue nggak bakal minta adik."

Dasha mengangkat sudut bibirnya. Namun, masih tertinggal getar di sana. Bagaimanapun, seberani apapun dirinya, Dasha tetaplah wanita. Tubuhnya nyaris menggigil saat berhadapan dengan dua lelaki tadi.

Dasha menghempas napas. Kasar untuk kali ini. Mendadak rasa kesalnya mendesak, meminta kembali diudarakan. "Gue heran, kenapa ada cowok sedingin itu."

Kening Mila berkerut. Gadis bersurai hitam dikucir tinggi itu menatap lekat teman sekelasnya. "Siapa?"

"Vean."
.

"Elo sih!" Memberengut, Arlan mengambil alih sapu dari tangan Keira. Sial. Ini kali pertama dirinya terlambat dan berakhir menjadi petugas kebersihan. "Gue jemput pagi." Nyatanya, Keira hanya dapat mengucap janji tanpa realisasi.

"Motor lo juga, ngapain mesti kehabisan bensin segala." Keira mendengkus. Gadis bermata sipit itu menegakkan tubuhnya. Memandang lorong panjang yang mesti dibersihkannya sebagai hukuman.

"Itu tandanya, di dunia ini nggak ada yang gratis, Kei." Arlan melakukan hal yang sama. Melepas pandangnya dari keramik, lantas dijatuhkannya tatapan teduh itu pada sahabatnya. "Lo pakai motor gue, tetap ada biaya sewanya. Atau paling nggak, minimal bayarin bensin."

Keira nyengir. Ia hanya dapat mengamati gerak Arlan yang beralih mendudukkan diri di depan kelas.

"Jadi, gue anggap, lo tetap pinjam motor gue. Buat bayar budi lo yang udah nolongin gue ...," Arlan menggantung kalimatnya selagi wajah putih pucatnya terarah pada Keira, "kantin yuk!" Lelaki itu bangkit berdiri.

Keira terpaku. Tak percaya dengan ucapan ringan yang baru keluar dari bibir Arlan. Bahkan, hukuman mereka belum setengah jalan, tapi dengan santainya lelaki itu beranjak pergi. Menyandarkan sapu yang dipegangnya pada dinding kelas. Lantas mengambil langkah menuju kantin.

Arlan tak ambil peduli. Dirinya sadar jika Keira merasakan hal aneh terhadapnya. Namun, yang ada dipikirannya kini, ia hanya ingin mengisi perut kosongnya guna menghilangkan rasa lemas. Hanum pasti akan marah jika tahu masakan yang dibuatnya pagi-pagi--karena ia harus mengisi seminar lagi-- tak sedikit pun disentuh oleh putranya. Ia juga mesti menelan obatnya agar tak kembali tumbang. Tak lagi menyusahkan orang-orang di sekitarnya. Tak lagi mengingkari janjinya pada sang bunda.
.

It's YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang