03

2K 204 79
                                    

"Veve, lo yang ngetik dulu, oke? Nih gue ada rapat penting." Dasha menurunkan ponselnya dari telinga, usai panggilan dari Keira berakhir. Gadis itu bangkit berdiri. Sedikit menggeser bangku perpustakaan--tempatnya berada kali ini-- untuk memudahkannya keluar.

Vean mendelik. Sedari awal, ia sangat benci dengan sapaan "Veve" yang diberikan gadis aneh itu padanya. Terkesan begitu geli di telinganya hingga bulu kuduknya berdiri.

"Gue bentar lagi balik kok." Dasha menepuk bahu lelaki itu dua kali. Melenggang pergi begitu saja tanpa lagi menaruh peduli. Masa bodohlah. Toh, jika tugas mereka tak selesai, keduanya yang diberi hukuman. Bukan hanya dirinya.

"Tumben di perpus." Komentar Keira yang sudah berdiri di depan pintu perpustakaan.

Dasha mengalungkan lengannya pada leher sahabatnya itu. Lantas menuntun kedua langkah mereka. "Makan yuk! Gue laper banget."

"Nggak bisa deh. Gue mesti cabut dulu, mumpung nggak ada kumpul." Keira berniat mengambil langkah berlawanan dengan Dasha yang menuntunnya ke kantin. Namun, gadis berselisih tinggi tiga senti di bawahnya itu mengeratkan lengan yang melingkar di lehernya. Menariknya, sontak mengunci pergerakannya.

"Ya makanya mumpung nggak jadi kumpul, kita makan-makan bentar. Lagian, gue lagi males nugas."

"Lagian, kapan lo rajin nugas?" Keira menepuk lengan sahabatnya. Berusaha melepaskan anggota badan itu yang terasa mencekik lehernya. "Sha! Lepasin elah!"

Dasha tergelak mendapati rona merah wajah gadis itu. "Gue lepasin asal lo nemenin gue ke kantin."

Tak ayal, Keira menurut.

"Good girl!" Dasha menepuk lengan sahabatnya. Sedangkan sang empunya lengan mendengkus pelan.

"Btw," Dasha mulai berceloteh sebagai iringan langkah mereka menunuju kantin, "puas banget gue ninggalin Vean di perpus sendiri."

"Sedeng lo," komentar Keira.

"Nggak betah elah. Keknya mendingan gue bermonolog sama tembok, daripada ngomong sama tuh bocah."

Keira hanya mampu menggelengkan kepala. Namun, detik berikutnya langkah gadis itu terhenti. Diikuti gerakan yang sama oleh Dasha, kendati gadis itu masih bercerita tak jelas. Entah kali ini pasal apa.

Arlan. Lelaki bernama asli Arsalan itu dilihatnya berjalan tak jauh dari mereka. Keira membeku beberapa saat sebelum berniat memutar arah. Berjaga-jaga agar mereka tak berpapasan. Tak ingin gadis di sebelahnya ini berakhir ribut jika bertemu pangerannya. "Lewat sana aja, Sha!" Keira menunjuk lorong di antara dua kelas, jalan tembus menuju kantin.

Dasha menoleh ke arah pandang Keira.

"Sekalian gue mau ke toilet bentar."

Dasha mengangguk. Tak banyak tanya, mengambil langkah melewati jalan itu.

.

"Pe-u-ba-hulan ...." Dasha terkikik geli mengeja satu kalimat pembuka pada makalahnya yang masih berwujud soft file. Baru saja, ia kembali ke perpustakaan saat laparnya tandas. Vean tak lagi dilihatnya di sana. Hanya ada laptopnya yang masih menyala dengan deretan kalimat tertera di sana.

"Sel a-ba-hal ... ah, shit!" Gadis itu menekan perutnya yang terasa kaku. Membaca tulisan Vean benar-benar menguras habis selera humornya. Dasha menekuk lututnya. Berjongkok dengan sekuat tenaga mencegah tawanya pecah. Tak peduli dengan petugas perpustakaan yang memandangnya tajam, gadis itu menangkup wajahnya yang sudah memerah. Sekali-kali punggung tangannya terangkat mengusap sudut mata yang terasa basah.

Dasha mengangkat wajahnya saat dirasa seseorang berdiri di depannya. Tepat seperti dugaannya, tubuh jangkung Vean didapatnya saat ia mendongak. Tak selang waktu lama, gadis itu menunduk. Kembali tertawa selagi memegangi perutnya. "Ve ... lo nggak bisa nulis?" Kalimat tanya itu keluar sebagai pemungkas gelaknya. Gadis itu mengaduh selagi berdiri.

It's YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang