"Papa kapan pulang? Kapan Kak Vean ikut pulang? Mama bilang, Kak Vean nggak bisa pulang karena hujan. Eshan nunggu lama banget Pa, sampai ketiduran. Tapi pas bangun, Mama nggak ada. Kak Vean sama Papa juga nggak pulang."
Ardian termenung mendengar suara putra bungsunya lewat telepon. Laras memang langsung menyusul saat Vean dioperasi tanpa memberitahu putranya. Wanita itu tak pernah sedikit pun berada jauh dari putra tirinya. Hingga di hari kedua Vean tak sadarkan diri, Laras tetap menunggu di sampingnya tanpa berniat pulang ke rumah. Ia yang sesekali pulang untuk mengambil pakain sang istri dan menengok Eshan.
"Papa nggak bisa bilang kapan Kak Vean pulang," jawabnya dengan nada rendah.
"Kenapa Pa?"
Ardian menghela napas lelah sebelum beralasan, "Hm ... nanti kalau Papa bilang, nggak jadi surprise dong."
"Ya udah deh. Eshan mau nunggu kakak pulang. Eh, tapi Eshan mau sekolah dulu. Semoga nanti pas Eshan pulang, Kak Vean, Mama, sama Papa udah di rumah." Terdengar nada kecewa dari seberang.
Ardian tertegun cukup lama. Membiarkan Eshan meninggalkan beberapa kata tanpa diresponnya sebelum sambungan terputus. Pria paruh baya itu menyimpan ponselnya sebelum menoleh ke samping kanan. Mendapati istrinya yang masih bergeming dengan pandangan kosong terarah ke depan.
Koridor rumah sakit masih cukup sepi pagi ini. Tanpa berkata-kata, Ardian melingkarkan lengannya pada bahu wanita itu. Merengkuhnya dalam pelukan. Lantas dibiarkan kepala Laras bersandar pada dada bidangnya.
"Kamu tak akan melakukan hal itu ke Vedian, 'kan Mas?" tanya Laras lemah. Ia teringat saat mendengar percakapan suaminya dengan Hanum tempo hari. Kala wanita itu meminta merelakan Vean untuk Arlan.
"Tak akan." Ardian mengecup puncak kepala istrinya, berusaha menenangkan. "Anak kita masih berusaha keras. Kenapa kamu berpikir aku akan mengambil hidupnya?"
Laras tak menjawab. Hanya cairan bening yang lagi-lagi mengalir dari sudut matanya tatkala teringat keadaan putranya kini. Kondisi Vean memburuk. Selepas subuh tadi, entah apa yang terjadi hingga cukup banyak perawat dan dokter yang masuk ke ruang rawat putranya. Pemantaun diperketat hingga ia tak boleh masuk dan hanya dapat menunggu di depan ICU.
Dari penjelasan sang dokter yang baru mereka dapat, ada penyempitan pembuluh arteri sebagai komplikasi setelah operasi. Mereka sudah berupaya sekeras mungkin, tapi tetap tak menjamin bahwa Vean dapat membaik dan dapat melewati masa komanya.
Jujur, Laras sangat takut. Ia belum siap oleh kemungkinan terburuk yang dapat terjadi. Ia belum siap jika Vean tak lagi dapat menahan sakitnya hingga berputus menyerah. "Mas janji sama aku. Walau nanti dokter sudah bilang tak ada harapan, jangan biarkan mereka menghentikan perjuangan Vedian." Wanita itu mendongak. Menatap wajah suaminya masih dengan mata basah.
"Janji." Ardian memeluk istrinya lebih erat. Ia bertekad untuk tak terpengaruh dengan perkataan orang. Tak peduli sekecil apapun peluang putra sulungnya selamat, ia tak akan menyia-nyiakan hal itu.
.Di matanya, Mila adalah sosok gadis idaman. Pandai dalam bidang olahraga-terutama basket dan bela diri-, dapat mengikuti pembelajaran dengan baik dan paras cantik meski tak pernah menghias diri berlebih. Gadis berpendirian kuat dan tegas. Sangat jauh berbeda dengan dirinya yang tak pernah sekalipun dapat dewasa. Namun kali ini, untuk kali pertama Dasha dapati sosok itu tak seperti biasanya. Termenung di rooftop rumah sakit dengan pikiran yang entah terarah ke mana.
Dasha mendekat. Niatnya untuk menjenguk kedua sahabat lelakinya terhenti saat Ardian memintanya menemui Mila terlebih dahulu. Semalam penuh gadis itu terjaga, berharap dapat menjadi orang pertama yang dilihat Vean saat membuka mata, tapi kabar mengejutkan dari sang dokter membuatnya seolah hilang akal.
KAMU SEDANG MEMBACA
It's You
Novela JuvenilDasha pernah mengandai kalau saja hidupnya dapat sedramatis cerita dalam novel yang dibacanya. Bagaimana ia akan mencairkan ice boy, menaklukkan bad boy, atau mengendalikan perasaannya saat bertemu good boy, gadis itu sudah menyiapkan beribu cara ji...