Tuhan, kalau umurku nggak panjang. Setidaknya, jangan detik ini Kau sita napasku, Kau ambil ruhku. Aku punya banyak pinta sebenarnya. Di samping ingin buat hubunganku dengan Bunda baik-baik saja seperti semula. Jujur, aku ingin kamu.
Orang bilang, matamu bulat indah. Terang. Bersinar. Penuh semangat. Berbanding terbalik dengan sepasang netra yang Tuhan berikan padaku. Tapi, kamu ... tahukah kamu kalau aku tak berani sekali pun memusatkan tatap padamu?
Aku takut. Takut akan belenggu yang semakin kau jerat nyata. Takut tenggelam dalam hipnotis pancaran yang indah itu.
Bilang saja aku bodoh. Menyibukkan diri dengan seorang lain untuk mengalihkan debaran jantung kala berada di dekatmu. Sebutlah aku bodoh. Yang mengulur jarak di antara kita agar lebih jauh.
Kamu. Jika kuambil gerak mundur dua langkah, tak bisakah turut kamu pijakkan kakimu ke belakang kendati hanya selangkah?
Dasha menyembunyikan wajahnya di balik bantal. Kesal masih menggumpal di dadanya. Namun, usai membaca rentetan kata itu, entah mengapa perasaannya menguap. Menjadikan sesak yang kini berkuasa penuh.
Dasha tahu benar siapa Arlan. Semua tentang lelaki itu, termasuk kesempurnaan fisik yang tidak Tuhan titipkan padanya. Dulu, kali pertama mereka bertemu saat seragam putih abunnya masih baru. Saat upacara pembukaan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah dulu. Saat upacara pembukaan. Saat matahari sedikit meninggi. Dan lelaki itu tiba-tiba terkulai lemah di bahunya.
Jujur, hampir semua koleksi novel gadis itu berakhir sedih. Akunya, cerita sad ending meski menyesakkan, tapi justru rasa seperti itu yang membekas. Yang membuatnya sulit melupakan. Namun, ia sama sekali tak berharap agar kisahnya berakhir sama tragis.
"Nyebelin!" Gadis itu mengangkat wajahnya.
Bayangan Arlan yang putus asa sontak hadir. Lelaki itu tak boleh lelah. Tak boleh menyerah. Tak boleh kalah.
Dasha kembali mengambil ponselnya. Tanpa pikir panjang, mengirimkan sebuah komentar.
Hallo! Salam kenal^^
Aku pengunjung setia blog Kakak hehe
Suka banget sama cerita yang kakak tulis.
Semangat ya💪
Ditunggu kelanjutannyaMasa bodo. Terkesan gila memang. Dasha akan memberikan dukungan untuk Arlan. Kapanpun itu, di manapun itu, menjadi siapapun itu.
."Ketemu Veve lagi!"
Vean berdecak saat wajah Dasha kembali muncul di depannya. Apes memang. Baru saja terlepas dari gadis itu di kelas, ia harus berhadapan dengan Dasha lagi setelah pulang sekolah. Beralasan les privat untuk mereka berdua yang telah jauh tertinggal materi.
"Nggak kumpul OSIS?"
Dasha mengernyit saat kalimat tanya itu keluar dari bibir Vean. Gadis itu menoleh ke samping dan belakang. Tak menemukan siapapun di ruangan itu selain mereka. "Lo ngomong sama gue?" Tunjuknya pada diri sendiri.
Vean mengembuskan napas kasar. Sejenak menatap dingin Dasha sebelum netra itu dialihkan menatap luar. Memandang seorang yang baru memasuki ruang guru, tempat mereka berada.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam." Dasha menoleh. Mendapati sosok lelaki yang tak lagi asing di matanya berdiri di depan pintu. "Arlan?"
Arlan masih bergeming di tempatnya. Membalas tatap Vean yang berada di samping gadis itu.
"Lan, lo ngapain di sini?"
Hening.
"Lan?"
Arlan tersentak. Tersadar setalah cukup lama mengunci pandang dengan tatapan dingin Vean. Lelaki itu mendekat. Berdiri di depan mereka. "Bu Ambar nggak bisa ngasih tambahan. Jadi, gue yang disuruh nemenin kalian belajar," jelasnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
It's You
Teen FictionDasha pernah mengandai kalau saja hidupnya dapat sedramatis cerita dalam novel yang dibacanya. Bagaimana ia akan mencairkan ice boy, menaklukkan bad boy, atau mengendalikan perasaannya saat bertemu good boy, gadis itu sudah menyiapkan beribu cara ji...