06

1.6K 177 34
                                    

Harusnya, Dasha menolak lebih keras lagi saat dulu sang ayah hendak memasukkannya ke sekolah ini. "Kalau satu sekolah sama Papa, nanti kamu menyalahgunakan posisi Papa." Begitu kata Reno, ayahnya yang tak lain Kepala Sekolah Menengah Atas Garuda Bangsa. Itu alasan utama mengapa ia berakhir di sekolah penuh aturan ini.

Bibir Dasha mengerucut selagi matanya berkaca-kaca. Rencananya bertemu dengan Dhimas gagal total. Dan semua itu gara-gara Vean. Andai jika dirinya tak mengambil jok kosong di belakang lelaki itu. Dengan kata lain memilih melompat dari dinding, mungkin ia tak akan ketahuan membolos. Namun, sialnya saat motor Vean hendak keluar gerbang, entah dari mana seorang satpam berdiri di depan mereka.

"Masuk!" Dasha mendongak saat wanita empat puluhan yang menuntunnya ke Ruang BK memintanya masuk. Ditatapnya sekilas Vean yang berdiri di sisi kanannya. Lelaki itu berdecak sebelum mendahului langkahnya.

Bu Endang, wali kelas mereka sudah duduk tenang di sofa, tempat biasa menerima tamu. Bukannya ruang interogasi sempit di sudut ruangan. "Ibu bingung mau nanganin kalian gimana lagi." Wanita itu menghela napas berat.

Dasha menunduk. Terakhir ia masuk ke ruang dengan aura mencengkam ini saat masih tingkat satu. Gadis itu ingat betul kala orang tuanya dipanggil karena ia ketahuan menyontek saat ulangan akhir semester.

"Saya akan memanggil orang tua kalian." Itu suara Pak Arif. Guru bimbingan konseling yang masih muda.

"Jangan!" Dasha mengangkat pandangnya. Memasang mimik sememelas mungkin dengan diarahkan bergantian pada Pak Arif dan Bu Endang.

"Kalau tidak begini, kalian tidak akan kapok," tambah Bu Endang.

"Jangan dong, Bu. Please ...." Gadis itu menyatukan telapak tangannya di depan dada, memohon penuh harap. "Ibu tahu, kan kalau ayah saya seorang kepala sekolah. Ayah saya pasti akan marah kalau tahu putrinya begini." Nada bicara Dasha menurun selagi pandangannya kembali tertunduk.

"Harusnya kamu bisa menjaga nama baik keluargamu sendiri." Pak Arif menimpali.

"Iya, Pak. Beri saya kesempatan sekali lagi. Saya nggak akan ngulangi, deh. Janji," ucapnya bersemangat. "Iya, kan Ve?" Lantas menoleh ke arah lelaki di sampingnya. Namun, Vean bergeming. Wajahnya masih datar dengan netra tak lepas mengikat pandang dua guru di depannya.

"Ve ...." Dasha menyenggol lengan lelaki itu.

Vean masih diam. Bibirnya terkatup rapat. Namun, Dasha dapat melihat kening lelaki itu berkerut.

"Ibu tidak mau mendengar apa-apa. Apapun alasan kalian sampai membuka gerbang dan berniat membolos, tolong ceritakan pada Pak Arif. Ibu permisi dulu mau mengajar," pamit sang wali kelas.

Dasha menggeleng kuat. Ia turut bangkit berdiri saat wanita itu berniat beranjak. Tak peduli dengan teguran Pak Arif lewat tatap mata guru muda itu, Dasha mengekor Bu Endang keluar. Tak henti membujuk agar gurunya itu mau mengubah keputusannya.

"Saya akan memanggil orang tua kamu." Suara Pak Arif memecah keheningan yang tercipta sesaat, usai gadis itu keluar ruangan.

Satu sudut bibir Vean tertarik ke atas. "Berapa yang Anda punya?"

Pak Arif mengernyit bingung mendengar pertanyaan itu. "Maksud kamu?"

"Berapa uang yang Anda punya untuk mengundang orang tua saya datang?" jelasnya. Lelaki itu menjatuhkan tatap tepat pada manik mata gurunya.

"Saya akan membuatkan surat panggilan."

Vean terkekeh. "Mereka tidak akan datang." Lelaki jangkung itu berdiri.

"Kenapa tidak? Semua orang tua akan meluangkan waktu untuk anaknya." Pak Arif mendongak.

Vean menyeringai. Memasukkan telapak tangannya ke saku celana. "Bullshit," desisinya. Namun, masih terdengar oleh guru muda itu.

"Vedian!" tegur Pak Arif. Ia turut berdiri. Perlakuan Vean benar-benar tak sopan. Tak hanya karena berdiri dan membuatnya harus mengangkat pandangan saat berbicara, tapi juga karena umpatan itu.

Rahang Vean mengeras. Lelaki itu merogoh dompet di dalam saku celananya. Mengeluarkan semua ATM yang dipunyanya, membantingnya kasar di atas meja kaca. "Gue sekolah di sini bayar! Kenapa mesti gue nurutin kemauan kalian yang justru makan dari duit gue, hah?"

Pak Arif tercengang mendengar nada tinggi yang keluar dari bibir lelaki itu. Sebelumnya, Vean selalu memilih diam saat dimarahi. Namun, kali ini berbeda. Ia dapat menangkap raut lelaki itu yang tampak sangat marah.

"Sumbangan komite sekolah juga bokap gue yang nyumbang. Kenapa gue mesti patuh sama orang yang ada di bawah?" Gigi lelaki itu bergemelatuk. Urat leher Vean timbul jelas saat memberi penekanan di setiap kalimat yang ia ucap.

"Vedian!" Tak terima, Pak Arif yang hanya berselisih lima tahunan di atas Vean turut tersulut emosi. "Kalau kamu mau bebas, seharusnya dari dulu kamu tidak bersekolah di sini! Ini konsekuensi dari apa yang kamu pilih!"

Vean menyeringai. Memandang culas sosok yang berdiri tegak di depannya. "Dengkulnya! Dulu juga pihak sekolah yang minta gue sekolah di sini! Biar apa? Biar duit bokap gue tetap ngalir di sini! Bang ...."

Plak!

Kalimat Vean tak tandas saat telapak tangan Pak Arif mendarat di pipi kanannya. Vean menunduk. Sontak pandangannya mengabur selagi sensasi panas itu menjalar di wajahnya. Entah karena tamparan gurunya terlalu keras, atau karena ia yang tak siap. Lelaki itu memejam. Mengatur napasnya yang memburu sebab menahan emosi dan pening yang tiba-tiba menghantam.

"Vedian."

Vean masih dapat mendengar nada penyesalan dari sang guru di antara dengung yang membuat sadarnya mulai tercecer. Lelaki itu membuka mata. Mendapati beberapa guru mematung di sekitar pintu entah tak disadarinya sejak kapan. Mungkin suara kerasnya mengundang banyak atensi.

Vean menegakkan tubuhnya. Wajahnya tegang saat pandangannya tak kunjung normal. Pak Arif berniat meraih lengan lelaki itu kala mendapati keseimbangan Vean yang menurun. Namun, lelaki itu menepisnya kasar. Mencoba bersikap sebiasa mungkin kendati keringat dingin mulai keluar dari pori-pori kulitnya. Sedikit terhuyung, lelaki itu menyibak keramaian. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, berlalu begitu saja.
.

Arlan bergerak gelisah dalam tidurnya. Usai pulang sekolah tadi, tubuhnya lelah luar biasa. Berbaring di tempat tidur nyatanya tak mengurangi apapun. Lelaki itu membuka kelopak matanya. Didatapati penerangan kamarnya yang telah redup. Sebentar lagi malam dan Hanum belum juga pulang. Sialnya, bagian tubuh itu kembali beraksi.

Tangan lelaki itu meremas kuat dada kirinya. Napasnya memburu selagi pandangannya mengedar. Mencari tempat di mana dirinya membuang asal tabung obatnya tadi. Netranya menangkap benda-benda kecil itu masih berserakan di lantai. Arlan ingat, sebelum berbaring tadi, rasa yang sama juga sempat muncul. Maka dari itu, ia tak sempat menyimpan obatnya dan langsung merebahkan diri di ranjang. Berharap dengan begitu sakitnya dapat menghilang. Namun, dugaannya salah.

Arlan berniat turun, tapi yang ada tubuhnya terlebih dahulu menyentuh lantai di banding kaki-kakinya. Lelaki itu berniat menggapai benda ajaib untuk membantunya bertahan. Namun, tak sampai. Entah mengapa di saat seperti ini semua hal terasa begitu jauh untuknya.

Erangan keluar dari bibir pucatnya. Keringat dingin membanjir selagi remasan pada dada kiri lelaki itu semakin kuat. Arlan membuka mulutnya, berupaya meraup sebanyak mungkin oksigen yang ada di sekitarnya. Namun, masih saja tak cukup. Di antara sadarnya yang kian terkikis, sempat didengarnya pintu kamar terbuka. Sempat didapatnya raut cemas Hanum di depannya. Sebelum gelap mengambil alih semua.
.
.
.
Bersambung ....

Met bobok😚

Love,
Lyndiasari

Jumo, 08.18.19

It's YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang