Dingin angin malam menyibak surai kecokelatan itu. Tak luput wajah putih pucat yang masih empunya biarkan kelopak mata itu tertutup. Vean sedikit terusik. Keningnya berkerut saat udara yang bergerak itu berhasil menggelitik kulit. Enggan, ia membuka sepasang netra. Mengembuskan napasnya kasar saat sadar dirinya tak sempat merapatkan pintu balkon sore tadi. Pantas jika tidurnya kini terganggu.
Lelaki itu menegakkan punggungnya. Kembali memejam saat dunianya terasa berputar. Lantas menekan matanya pelan, berlanjut memijat pangkal hidung guna mengurangi pening.
"Kak Vean?" Suara khas anak kecil terdengar dari arah pintu.
Vean menyibak kelopak matanya. Menoleh. Sial. Ia turut lupa mengunci pintu kamarnya sehingga Eshan dengan mudah dapat masuk.
"Mama belum pulang. Papa juga. Eshan bobok sini, ya?" Kaki mungil itu memangkas jarak di antara keduanya. Namun, tak lantas berhenti di depan ranjang. Malah lebih tertarik melihat koleksi stiker milik kakaknya yang tertempel di meja belajar.
"Keluar." Desis runcing keluar dari bibir tipis Vean.
Eshan tak mengindahkan apa yang dikatakan sang kakak. Malah balik bertanya, "Kakak suka kartun? Eshan juga." Bocah itu menyentuh stiker burung hantu di sana. "Professor Higgabottom, kan? Eshan pernah nonton ini di rumah Lala." Netra bulat Eshan berbinar penuh semangat. Teringat beberapa hari yang lalu saat ia menonton Paddle Pop di rumah temannya.
Vean berdecak. Berusaha menikam sang adik dengan tatap tajamnya, tapi Eshan tak kunjung menciut.
"Terus ada lagi yang cantik namanya Liona. Kalau Eshan suka sama Paddle Pop. Paling benci sama Shadow Master." Eshan mulai berapi-api.
Vean masih bergeming.
"Jelek. Jahat." Eshan mengerucutkan bibirnya tak suka.
Tak ada tanggapan dari Vean.
"Apalagi dia ngerebut es--"
"Diam," potong lelaki itu setengah mendesis.
"Kak Vean juga nggak suka?" tanya bocah itu polos.
"Gue bilang di ... ah! Shit ...." Vean menggigit bibir bawahnya saat sakit itu kembali muncul. Memarahi adiknya memang tak berkah. Lelaki itu kembali memejam. Merutuki Laras yang belum juga pulang meski sudah pukul delapan malam. Tebaknya, wanita itu pasti sedang bersenang-senang dengan temannya. Seperti ABG yang kehilangan masa mudanya. Sedangkan sang ayah, barangkali masih di tempat itu sedari siang tadi. Tak akan kembali sebelum memastikan sosok itu baik-baik saja.
"Eshan ngantuk." Bocah itu mengusap sudut matanya yang berair. Lantas mengambil langkah mendekati kasur.
Vean berdecak. Hendak bangkit, mengusir Eshan keluar. Namun, saat lelaki itu berusaha menggerakkan kakinya, tak ada sedikit pun perubahan. Panas menjalar ke seluruh tubuhnya. Ada yang ganjil di sini. Ia kembali mencoba menggerakkan kakinya, tapi tetap menghasilkan hal yang sama.
Lelaki itu mematung. Termenung dengan fakta yang ada. Sudah separah itukah?
"Kak?" Eshan menatap lekat wajah Vean yang berubah semakin pucat pasi. Keringat dingin bahkan telah tampak di sana.
Vean memejamkan matanya. Mencoba meyakinkan diri bahwa semua ini bukan apa-apa. Tak apa-apa. Dan akan bersifat sementara seperti sakitnya, kendati ini kali pertama sepasang kakinya tak dapat digerakkan. Lelaki itu mencoba mengatur napasnya yang mulai memburu. Mencoba mengendalikan diri agar Eshan yang sudah berada di sampingnya tak menaruh curiga.
"Kak Ve--"
"Tutupin pintu balkon," potong Vean. Lelaki itu mulai menggigil. Tak hanya sebab angin yang masuk, tapi juga kekhawatirannya yang tak lagi dapat ia sembunyikan.

KAMU SEDANG MEMBACA
It's You
Teen FictionDasha pernah mengandai kalau saja hidupnya dapat sedramatis cerita dalam novel yang dibacanya. Bagaimana ia akan mencairkan ice boy, menaklukkan bad boy, atau mengendalikan perasaannya saat bertemu good boy, gadis itu sudah menyiapkan beribu cara ji...