"Tadi Dokter Fariz nanyain Bunda." Dari belakang, Arlan melingkarkan kedua lengan di pinggang sang ibu. Sedikit menunduk untuk menumpukan dagunya di pundak wanita itu. "Katanya, 'Bunda lama nggak ngantar check up, ya? Masih marahan?' gitu." Arlan mengutip pertanyaan dari dokternya. Dilihatnya dari cermin, Hanum tersenyum mendengarnya.
"Gimana hasilnya tadi?" Sang ibu berbalik. Melepas pelukan putranya lantas beralih mengambil handuk. Menggunakan benda itu untuk mengeringkan rambut.
"Arlan yang jawab pun, Bunda juga nantinya tanya ke Dokter Fariz, kan?"
Hanum sedikit tersentak. Kesibukannya akhir-akhir ini membuatnya tak sempat mengawasi putranya, bahkan menemaninya check up saja jarang. Buku terbarunya laris manis di pasaran. Membuat jadwalnya padat untuk mengisi seminar literasi atau sekadar meet and greet dengan para pembaca setianya. "Maaf. Bunda nggak bisa nemenin." Rasa bersalah tampak jelas di wajah wanita paruh baya itu.
"Nggak papa, kok. Tadi Dasha yang nemenin." Lelaki itu berbalik, usai tersenyum simpul. Mengambil langkah mendekati kasur di kamar sang ibu lalu mendudukkan dirinya di sana.
"Dasha?" Kernyitan muncul di dahi Hanum.
"Cewek yang kecil. Yang Bunda bilang manis, imut itu," terang Arlan.
Hanum mengingatnya cukup lama sebelum tersenyum penuh arti. "Oh yang itu! Bunda ingat. Kok bisa sama dia?"
Arlan terkekeh geli mengingat kejadian di sekolah tadi. Kala itu, ia berniat ke Ruang BK untuk meminta izin keluar sekolah dengan alasan cek kesehatan. Namun, saat ia sampai di ruangan itu justru perdebatan Dasha dan Pak Arif yang menyita perhatiannya.
Dasha berdalih bahwa dirinya sakit untuk melancarkan aksi membolosnya. Diare katanya. Hal yang sulit untuk Pak Arif dapatkan buktinya.
"Lucu deh pokoknya, Bun. Masa dia mau bolos buat nobar bareng aktor Dhimas Arista." Arlan terkekeh.
"Ha? Gimana ceritanya?" Hanum tertarik. Mendekati putranya, lantas mengambil alih sisi kosong di samping Arlan.
"Ya, gitu itu. Aneh deh pokoknya. Sampai bilang kalau dia diare."
"Pura-pura sakit, gitu?"
Arlan mengangguk.
Hanum menggeleng-gelengkan kepalanya. "Terus?"
"Arlan bantuin," jawabnya enteng.
"Teman bohong kok dibantuin," komentar Hanum.
Arlan terkekeh lagi. "Kasihan sih, Bun."
"Dasar kamu!" Hanum mencubit pinggang putranya. Membuat lelaki itu meringis kecil.
"Terus dia beneran ngantar Arlan ke RS."
"Terus nontonnya gimana?" Hanum mengernyit.
"Ya, gantian Arlan yang nemenin dia nonton." Suara Arlan merendah.
Hanum membulatkan matanya.
Lelaki itu menggigit bibir bawahnya. "Kan Arlan juga butuh hiburan," tambhanya lirih.
Bibir Hanum terkatup. Memandang datar putranya cukup lama. Sebelum tersenyum penuh arti. "Jadinya Keira apa Dasha, nih?"
Hening. Kening Arlan berkerut dalam selagi mencerna kalimat tanya wanita itu. Sedangkan Hanum tersenyum semakin jenaka. Detik berikutnya, Arlan turut tersenyum lebar. "Atau Dokter Fariz?"
"Arlan!" Wanita itu memukul lengan putranya.
"Pipi Bunda langsung merah, tuh!" Lelaki itu terkekeh lebar.
Hanum merengut kesal. Putranya memang sangat menyebalkan. Meskipun begitu, lelaki berumur enam belas tahun itulah yang menjadi semua alasan. Alasan untuknya tetap hidup. Alasan untuknya tetap menjadi orang tua tunggal yang kuat. Alasan untuknya bahagia. Dan terkadang alasan untuknya menangis.

KAMU SEDANG MEMBACA
It's You
Fiksi RemajaDasha pernah mengandai kalau saja hidupnya dapat sedramatis cerita dalam novel yang dibacanya. Bagaimana ia akan mencairkan ice boy, menaklukkan bad boy, atau mengendalikan perasaannya saat bertemu good boy, gadis itu sudah menyiapkan beribu cara ji...