Pukul sebelas malam. Baru satu jam Ardian menunggu, tapi waktu seolah berjalan benar-benar lambat. Jantungnya seakan berdetak lebih kuat seiring bertambahnya detik. Ia pernah mengalami saat-saat seperti ini. Namun saat itu, ada Hanum di sisinya. Ada perempuan yang mesti ia jaga hatinya sehingga mengharuskannya bertameng lebih tangguh.
Arlan pernah di posisi itu. Ia pernah menunggu hingga akhirnya usaha dan doanya terjawab. Namun, bagaimana jika putra sulungnya yang berjuang? Apa Vean dapat bertahan di dalam sana? Bagaimana jika lelaki itu memilih menyerah? Kalah di meja operasi. Pikiran semacam itu yang terus saja menggelayutinya.
Ardian meremas jemarinya. Membayangkan bagaimana kepala putranya dibuka. Lantas dokter menempatkan klip kecil pada pangkal aneurisma sebagai penjepit. Permanen. Dan benda kecil berbahan titanium itu selamanya akan berada di otak putranya.
Ia memejam. Beberapa kali melafalkan istighfar guna menenangkan hatinya. Berusaha berpikir positif bahwa Vean dapat melewatinya. Tak peduli seberapa lama masa pemulihanya kelak, walau ia tak mungkin seutuhnya menjadi Vedian yang dulu, Ardian akan tetap mendukungnya.
"A-yah ...."
Dan suara terakhir yang didengarnya kembali terngiang. Memutar kejadian beberapa jam yang lalu. Sesaat, sebelum sosok itu tak sadarkan diri.
.Ardian menoleh saat suara dentuman terdengar dari tangga. Keningnya berkerut dalam tatkala mendapati tubuh putranya berguling dari tangga kesembilan. Jatuh menghantam lantai di bawah tangga. Amarahnya yang masih berkuasa tak segera membuat pria itu bergerak. Baru setelah Eshan dengan cepat menuruni anak tangga sembari menyebut nama sang kakak, sadarnya tertarik. Setengah berlari, ia mendekati putranya yang telah terkapar.
"Kak Vean! Kakak!" Eshan menggoyangkan tubuh kakaknya. Namun, Vean bergeming. Lelaki itu memejam kuat. Menggigit daging dalam bibirnya. Masih berupaya menghalau sakitnya selagi berusaha bangkit.
"Ve ...." Ardian berniat membantu. Namun, dengan kasar Vean menepis tangan sang ayah. Pantas jika putra sulungnya itu marah atas apa yang baru ia lakukan.
"Vedian!" Ardian mengeraskan suaranya. Antara marah dan kekhawatirannya beradu satu melihat paras pucat berkeringat dengan pandangan liar. Seolah tengah mencari cahaya.
Vean berdiri dengan mencengkram pegangan pada tangga. Sekeras mungkin menggerakkan kakinya yang mulai mati rasa untuk manaikki anak tangga, tapi gagal. Ia kembali tumbang dengan sakit berkali lipat menghantam kepalanya.
"Kakak!" Eshan memekik.
Laras menutup mulutnya. Terkejut saat tubuh itu kembali menghantam lantai dengan anak tirinya yang kini memegang kepalanya. Keringat dingin yang semakin menetes deras. Dan urat leher yang timbul jelas. Menandakan sosok itu berusaha keras menahan sakitnya.
"Vedian!" Ardian terduduk. Mengangkat kepala putranya, lantas diletakkan di pangkuannya selagi menepuk pipi lelaki itu. "Ve! Vedian dengar Ayah?" Tubuh sang ayah turut bergetar. Tak pernah ia melihat putranya seperti ini.
"Kakak bertahan! Eshan ambilin obat Kakak, ya! Tunggu Eshan, ya!" Bocah sepuluh tahun itu berniat menaiki tangga. Namun, dengan cepat Laras mencegahnya.
"Obat? Obat apa?" tanyanya dengan kening berkerut dalam.
"Kakak sakit Ma!" Eshan berlari menaiki tangga, usai menjawab pertanyaan itu.
Tak peduli dengan percakapan istri dan anak bungsunya, Ardian berusaha menghentikan Vean mencengkram kepalanya. Lidahnya kelu untuk sekadar menayakan bagian mana yang sakit. Ia hanya dapat menepuk-nepuk pipi lelaki itu untuk menjaganya tetap tersadar selagi mendekap tubuhnya.
"Aku telepon ambulans." Laras bangkit berdiri.
"Siapkan mobil," pinta Ardian hampir tak terdengar. Suaranya bergetar.
"Mas ...."
"Siapkan mobil!" bentaknya. Perlu waktu untuk menghubungi pihak rumah sakit. Belum lagi menunggu ambulans datang akan memakan waktu lebih lama lagi. Sedangkan ia tak mungkin membiarkan putranya kesakitan seperti ini.
Laras bergegas menjalankan titah itu.
"Ve ... Vedian dengar Ayah?"
Vean meremas lengan sang ayah kuat-kuat. Berusaha menyalurkan sakit yang dirasanya.
"Jangan tutup matamu. Kita ke rumah sakit, ya? Bertahan."
Vean meremas lengan sang ayah semakin kuat. Tak dapat mendengar apa yang dikatakannya. Di ambang kesadaran, hanya dapat merasakan pergerakan pria itu mendudukkannya. Lantas menempatkan tubuhnya di punggung milik sang ayah. "Ayah ...." Cairan bening luruh dari netranya.
Ardian berdiri selagi menggendong putranya. Sedikit terkejut saat dirasanya tubuh Vean seringan ini. Seolah mempertegas betapa ringkihnya tubuh itu sebenarnya.
"A-yah ...."
Ardian biarkan air bening turun dari sudut matanya. Bercampur dengan keringat yang membasahi wajahnya.
"Yah ...."
Dan satu kata itu yang terakhir kali didengarnya, sebelum tubuh sang putra terkulai lemah dalam gendongannya.
.Ardian menghela napas berat, kemudian diembuskannya perlahan. Bagaimana jika terjadi perdarahan hebat saat operasi berlangsung? Bayangan kesakitan itu, bagaimana jika Vean tak dapat menahannya? Bagaimana jika Vean masih marah kepadanya dan memilih menyerah?
Ardian tangkupkan telapak tangannya pada wajah. Mengusap sudut matanya yang kembali basah. Ia khawatir. Ia takut. Ia menyesal. Bagaimana jika kejadian itu adalah kali terakhir Ardian dapat menatap iris cokelat putranya? Bagaimana jika "ayah" itu adalah kata terakhir yang putranya ucap?
"Mas ...."
Ardian menoleh saat dirasakannya kehadiran seseorang di sampingnya. Ia mencoba menarik sudut bibirnya. Berusaha setangguh mungkin di depan perempuan itu.
Laras, perempuan itu meraih telapak tangan suaminya, lantas menggenggamnya erat.
"Kenapa kemari? Siapa yang jaga anak kita?" tanya Ardian memecah kesunyian.
"Vedian anak kita," jawabnya.
"Laras ...."
"Aku ibunya, Mas. Aku yang memarahinya. Aku yang mengusap wajahnya. Aku yang memasak untuknya. Aku ...," suara Laras mulai bergetar, "ibunya."
Ardian menatap sepasang netra istrinya dalam-dalam. Selalu didapatnya rasa benci ketika mendengar nama putranya, tapi kali ini ada sorot berbeda. Ada keteduhan, ada kelembutan, ada ketulusan di balik mata yang mulai berembun itu. "Vedian ... putraku ...."
"Adiknya, Arlan dan Eshan punya kemauan yang keras. Bukankah seharusnya kakaknya lebih keras lagi?" Laras mengangkat kedua sudut bibirnya. Kendati dalam waktu bersamaan, cairan bening luruh dari sudut matanya.
Ardian mengeratkan gengaman tangan mereka. Satu tangannya yang bebas merengkuh perempuan itu ke dalam pelukannya.
"Aku ibunya .., Mas. Aku ibunya." Dan Laras tak lagi dapat menahan tangisnya.
.
.
.Bersambung ....
Udah ah gini aja😅
Love,
LyndiasariJumo, 12.18.19
KAMU SEDANG MEMBACA
It's You
Teen FictionDasha pernah mengandai kalau saja hidupnya dapat sedramatis cerita dalam novel yang dibacanya. Bagaimana ia akan mencairkan ice boy, menaklukkan bad boy, atau mengendalikan perasaannya saat bertemu good boy, gadis itu sudah menyiapkan beribu cara ji...