"Nggak masuk dulu?" Arlan memasukkan tangannya ke saku celana. Memandang seorang gadis yang masih terduduk di atas motor matic.
"Nggak deh, Lan. Udah mau maghrib juga. Btw, gue bawa motor lo dulu ya?"
Arlan mengangguk. Usai penyakitnya kambuh tadi, Keira bersikeras untuk mengantarnya pulang dan menggantikan lelaki itu mengendarai motor. "Buat cari aman," begitu katanya sekitar satu jam yang lalu.
"Harusnya gue yang ngantar. Eh malah kebalik." Lelaki berkulit putih pucat itu terkekeh pelan.
Keira tersenyum lebar. Menampilkan gigi gingsulnya yang menambah manis. Sontak turut membuat matanya seolah hanya berupa lengkungan sabit. "Gue juga nggak rugi, kali. Kan lumayan daripada ngojek."
Arlan terkekeh semakin lebar. "Makasih, btw."
"Iya-iya. Lo udah ngomong itu banyak kali. Gue cabut ya? Besok gue balikin motornya sekalian berangkat sekolah. Nggak papa, kan?"
Arlan mengangguk.
"Istirahat. Besok gue jemput pagi, lo mesti udah siap-siap," pesan Keira selagi men-starter.
"Iya, bawel."
Keira tersenyum. Menurunkan kaca helm yang dikenakannya. Lantas melajukan motor yang dikendarainya.
Arlan menghela napas. Berbalik. Kaki-kakinya mulai melangkah memasuki halaman rumah. Sedikit, rasa bersalah itu muncul di permukaan. Sampai kapan ia akan merepotkan orang di sekelilingnya?
.
Laras menunduk. Fokus pada satu soal yang Eshan ajukan padanya. "Eshan punya jeruk dua, terus Mama kasih lagi dua. Tapi karena kepingin, Mbak Mida minta satu. Jadi, jeruk Eshan tinggal berapa?"
Bocah yang baru genap berusia enam tahun itu terdiam sebentar. Lantas mengangkat tangannya, menggunakan lima jarinya untuk menghitung. "Berarti, dua ditambah dua, dikurangin satu, ya, Ma?" Mata bulat Eshan tertuju pada raut cantik sang ibu.
Laras mengangguk. "Anak Mama pinter." Wanita itu mengusap surai hitam putranya.
"Empat!" Eshan bersorak gembira saat hasil hitungannya menemukan jawaban. Tangan kecilnya kembali menggenggam pensil. Dituliskannya angka mirip kursi terbalik itu di buku putih kotaknya.
Laras menghela napas. Menarik kedua sudut bibirnya selagi matanya beralih memandang ponsel di dekat buku-buku putranya. Mengambil benda putih berbentuk persegi panjang itu dari sana.
"Ma."
"Kenapa sayang?" Sepasang netra sang mama masih fokus pada layar ponsel saat suara Eshan terdengar memanggil.
"Teman-teman Adek tadi cerita soal pacar-pacaran. Katanya, Miko sama Sela pacaran gitu. Besok kalau udah besar mereka mau nikah. Mama sama papa dulu juga pacaran?"
Laras tersentak mendengar tutur putranya. Pergaulan zaman sekarang memang memprihatinkan. Bagaimana anak seusia mereka dapat mengenal istilah itu? Apa mungkin kurangnya perhatian orang tua terhadap anaknya hingga mereka menonton film yang belum saatnya mereka tonton?
"Adek ngomong apa sih? Nggak baik ngomong pacar-pacaran. Anak sekolah itu tugasnya belajar. Nggak boleh ngurusin hal yang aneh-aneh gitu," nasihatnya.
Eshan terdiam beberapa saat. Sebelum kalimat tanya kembali keluar dari bibir mungilnya. "Kalau gitu, gimana dulu Mama sama papa saling kenal?"
"Eshan!" Laras menegur.
Eshan menutup bukunya. Melipat tangannya di atas meja selagi menunggu sang ibu menjawab tanyanya. "Eshan nggak mau belajar kalau Mama nggak jawab!" Bocah itu bersikeras.

KAMU SEDANG MEMBACA
It's You
Fiksi RemajaDasha pernah mengandai kalau saja hidupnya dapat sedramatis cerita dalam novel yang dibacanya. Bagaimana ia akan mencairkan ice boy, menaklukkan bad boy, atau mengendalikan perasaannya saat bertemu good boy, gadis itu sudah menyiapkan beribu cara ji...