21

2.7K 203 111
                                    

"Vean nggak masuk lagi. Kenapa sih?" Dasha menghentikan langkah di depan bangku Mila. Kiranya, lelaki itu akan terlambat atau membolos di parkiran. Namun, saat kedua dugaan itu tak tepat, ia mulai khawatir. Jam pelajaran sudah usai, tapi Vean tak juga terdengar kabarnya.

"Kenapa tanya gue?" Mila mengangkat wajahnya. Mempertemukan sepasang netranya dengan kedua mata lebar Dasha.

Dasha mengernyit. Pasalnya, gadis itu yang selama ini begitu dekat dengan sosok dingin Vean. Namun, melihat gurat tak suka di raut Mila, membuatnya berprasangka jika hubungan mereka tengah tak baik-baik saja. "Lo marahan sama Vean?"

Mila tak menjawab. Masih teringat jelas bagaimana Vean memperlakukannya kemarin sore. Mengabiakan pertanyaan Dasha, gadis itu meninggalkan kelas tanpa lagi berkata. Sebenarnya, ada rasa khawatir yang sama terhadap sahabat sejak kecilnya. Vean kerap kali dilihatnya terpuruk. Terlebih saat pertemuan terakhir mereka, emosi lelaki itu benar-benar tengah buruk. Bagaimana jika Vean melakukan hal di luar dugaannya?

"Mil ...." Kehadiran Keira secara tiba-tiba menghentikan langkah gadis itu.

Mila mengernyit mendapati raut seorang di depannya. "Kenapa?"

"Vean sakit."

Mila sedikit tersentak mendengar kabar itu. Namun detik berikutnya, perlakuan Vean kali terakhir pertemuan mereka kembali terputar ulang. Kembali membuka lukanya. "Nggak ada hubungannya sama gue." Gadis itu berniat berlalu, tapi dengan cepat Keira menghentikannya.

"Lo mungkin bakalan nyesel kalau nggak nemuin dia. Vean sakit keras, Mil," tegasnya. Memandang lawan bicaranya tepat pada sepasang mata Mila.

Mila mengerutkan kening. Dapat Keira tangkap raut khawatir di sana. "Gue belum sempat nengok. Tapi gue dengar ada perdarahan. Vean udah dioperasi tadi malam, tapi sampai saat ini belum sadar juga."

"Maksud lo?"

"Dan kalau keadaan dia memburuk, kemungkinan orang tua mereka bakal ngelakuin hal itu ...." Keira tak dapat melanjutkan ucapannya.

"Bicara yang jelas! Maksud lo apa?" Nada bicara Mila naik beberapa oktaf.

"Arlan juga lagi kritis, Mil. Gue khawatir kalau Tante Hanum benaran bakal melepas salah satu di antara mereka." Suara Keira menurun. Sudah sejak kecil mereka berempat bersahabat. Dan entah sejak kapan ada perasaan yang lebih untuk Arlan. Namun bagaimanapun, ia tak bisa melapas Vean.

"Gila." Desis runcing keluar dari bibir Mila sebelum gadis itu berbalik. Memutar arah. Berniat kembali ke kelas.

"Sha!"

Dasha mematung saat tiba-tiba Mila mencengkeram pundaknya.

"Lo harus ikut gue!"

Tak memberi penjelasan apapun, gadis yang lebih tinggi darinya itu menyeret tubuhnya. Dasha mengerutkan kening. Berusaha mencerna apa yang tengah terjadi. Beberapa kali ia mengajukan pertanyaan, tapi tak juga terjawab. Begitu juga dengan Keira yang mengikuti. Gadis itu sama anehnya dengan Mila. Namun, tak ada niat pula untuk menjawab rasa penasarannya.

.

Laras meraih jemari dingin itu. Sesak kembali memenuhi rongga dada melihat keadaan putranya. Bagaimana semua alat digunakan untuk membantu sosok yang terbaring lemah bertahan. Selang yang dipaksa masuk lewat mulut. Kabel-kabel yang seolah membelit tubuh. Dan obat-obatan yang dimasukkan lewat lengan yang baru disadarinya tampak begitu kurus. Lebih sesak lagi saat dilihatnya bekas luka di bawah mata. Bahkan, saat-saat terakhir sebelum Vean tak sadarkan diri, ia dan sang suami tak memperlakukan sosok itu dengan baik.

"Ve ... Vedian masih marah sama Mama? Sama ayah juga, hm?" Wanita itu mengecup lembut punggung tangan putranya.

"Vedian hebat, Sayang. Makasih mau bertahan buat Mama dan ayah. Bunda Hanum pasti bangga kalau dengar Vedian berhasil melewati operasi." Laras tersenyum sendu. Teringat subuh tadi, operasi yang dilakukan baru saja selesai karena terjadi perdarahan hebat. Dan Vean dapat melaluinya. Meski keadaannya kini masih harus dipantau ketat dan dokter belum dapat menjamin apakah sosok itu dapat kembali membuka matanya.

It's YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang