19

2.7K 228 135
                                    

Hanum pandang raut pucat itu. Ia menggigit bibir bagian bawahnya. Membayangkan rasa sakit yang selama ini ditanggung putranya. Diraihnya tangan dingin Arlan. Menautkan jarinya dengan jemari lelaki itu, lantas diciumnya punggung tangan sang putra lembut.

"Maafin Bunda, Sayang ...." Hanum menyesal. Jika saja beberapa saat yang lalu ia tak marah dan meninggalkan lelaki itu saat Arlan menolak melakukan operasi pencangkokan, mungkin hal ini tak akan terjadi. Mungkin saat ini mereka tengah berada di rumah. Menonton televisi di ruang tengah sembari membaca buku. Atau sama-sama menulis di depan laptop.

Wanita paruh baya itu menunduk. Berusaha menyembunyikan air bening yang lagi-lagi lancang mengalir dari sudut mata, kendati Arlan tak mungkin melihatnya. Percakapannya dengan Ardian masih teringat jelas. Entah pikiran dari mana hingga ia meminta putra pertamanya berkorban, tapi bagaimanapun ia tak menyesali pernah meminta demikian. Mungkin kekecewaannya karena keluarga yang sore tadi bersedia mendonorkan jantungnya untuk Arlan menarik ucapannya. Dan tak ada pelampiasan lain, selain menumpahkan semua kesalahan pada mantan suaminya.

Hanum menghela napas. Ia kembali mengangkat pandangnya, lantas dijatuhkan kembali menatap putranya. Arlan harus sembuh. Ia tak akan pernah menarik kata-kata itu. Seperti yang diucapkannya: dengan cara apapun itu.

"Tante ...."

Hanum menoleh saat suara Keira terdengar.

"Tante istirahat dulu, biar Keira yang jagain Arlan."

"Nggak papa. Kamu pulang aja, nanti orang tua kamu khawatir." Wanita itu memandang gadis di depannya lembut.

Keira menggeleng. "Keira udah izin buat nginep kok. Hm ... Tante juga belum sholat isya', kan?"

Hanum sedikit tersentak, lantas bangkit dari duduknya. "Jagain Arlan bentar, ya? Kalau ada apa-apa, langsung hubungi Tante." Wanita itu menepuk pundak Keira.

"Pasti Tan."

Hanum tersenyum tipis. Berbalik memandang putranya yang masih bergeming. Mendekatkan bibirnya pada telinga Arlan, berbisik, "Bunda sholat dulu, ya Sayang. Kalau Bunda ke sini lagi, Arlan harus udah bangun," lantas mengecup kening lelaki itu lembut.

"Tante," panggil Keira lagi.

"Ya?"

Gadis itu tersenyum. "Semangat! Putra Tante butuh doa dan dukungan dari Tante."

Hanum mengangguk. Lagi-lagi dirinya dibuat bersyukur dengan kehadiran Keira. Ia melangkahkan kaki keluar. Baru ketika di luar ruang rawat putra bungsunya, ia teringat akan satu hal.

Putra Tante.

Dan frasa itu, mengembalikan ingatannya jika ia juga mempunyai putra lain.
.

Didapati suasana sepi, tatkala sepasang kaki miliknya memasuki rumah. Laras menutup pintu. Sedikit menggerutu karena Mida membiarkannya tak terkunci. Padahal sudah cukup larut malam. Bagaimana jika ada orang berniat jahat masuk sedangkan sang empunya tak berada di rumah? Memangnya asisten rumah tangga itu mau tanggung jawab jika putranya terluka?

"Mbak Mida!" panggilnya cukup keras.

"Mama!"

Laras terkejut saat suara Eshan yang didapatnya sebagai jawab. Dilihatnya bocah itu berlari ke arahnya. "Eshan kok belum tidur? Udah jam sembilan Sayang."

"Kak Vean mana?" Tak mengindahkan pertanyaannya, bocah laki-laki itu malah melempar pertanyaan lain. Sedangkan matanya sibuk mencari sosok sang kakak.

"Eshan ...," Laras menekuk lututnya, menyejajarkan tubuhnya dengan sang putra, "Kak Vean lagi sama papa. Nanti pulangnya nyusul."

It's YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang