23

2.5K 169 27
                                    

Hanum sapukan pandangannya pada keramaian yang ada. Bendera kuning benar-benar terpasang di depan rumah yang telah lama tak ia datangi. Kakinya terasa kebas selagi ia paksakan diri kembali menginjak lantai keramik rumah itu. Tak jauh beda tatanannya sejak enam tahun terakhir. Hanya yang membuat sangat berbeda, tempat seluas itu telah dipenuhi oleh orang-orang berbaju hitam.

Tubuh wanita itu bergetar. Terlebih saat melihat sang nyonya pemilik rumah dipapah keluar dari ruang tengah. "Sedang apa kamu di sini, hah?"

Hanum pandangi seorang yang berlari ke arahnya. Tanpa aba-aba, dengan keras mendorong tubuhnya.

"Kau masih bisa sebut dirimu seorang ibu? Ini yang kau mau, kan? Kau kemari untuk merayakan kebahagiaanmu atas selamatnya putra bungsumu itu, kan? Memamerkan pada kami kalau kau ibu yang hebat! Yang bisa membesarkan putranya yang sakit keras dengan mengorbankan putranya yang lain! Benar begitu, kan?" Laras berteriak di depan Hanum. Sontak mengundang semua pasang mata tertuju ke arah mereka.

Hanum mematung di tempatnya. Hanya dapat menerima semua perlakuan Laras padanya.

"Keluar dari sini! Kau bahkan tak layak menemui putraku untuk yang terakhir kali!" Laras kembali mendorong tubuh Hanum.

"Nyonya ... tahan diri Nyonya ...." Mida mencoba menenangkan.

"Nyonya tahan diri nyonya! Nyonya ikhlas Nyonya! Nyonya tenang Nyonya! Ikhlaskan putra Nyonya! Biarkan putra Nyonya pergi dengan tenang!" Laras mengulang semua ucapan yang Mida katakan padanya. "Kau pikir semudah itu, hah? Apa kau juga tak akan begini jika diposisiku?" bentak wanita itu. Netranya masih sembab. Isak masih keluar di sela-sela suara seraknya.

"Dan kau!" Laras berganti memandang tajam Hanum, "Apa yang kau lakukan di sini? Menemui Vedian, hah? Jangan harap! Saat aku memohon agar kau memintanya bangun, apa yang kau lakukan, hah? Dan sekarang kau mau apa? Memintanya bangun? Memintanya sembuh? Percuma! Percuma kedatanganmu itu! Vedian ... Vedian ...." Laras tak dapat melanjutkan ucapannya. Tubuh wanita itu meluruh.

Hanum semakin terpaku. Lidahnya kelu, tak dapat menyangkal semua perkataan itu.

"Vedian ... Vedian jangan tinggalin Mama, Sayang ...." Laras kembali meraung.

Mendengar kegaduhan yang terjadi, Ardian muncul. Tak mengindahkan kehadiran Hanum, pria itu langsung merendahkan tubuh di depan istrinya.

"Anak kita Mas ... panggil dokter! Kita bawa ke rumah sakit lagi! Dokter pasti salah! Kasihan Vedian pasti kesakitan tanpa alat bantu! Kenapa tadi kamu menyetujui dokter melepas semuanya Mas? Vedian pasti susah bernapas tanpa ventilator. Ayo kita bawa ke rumah sakit lagi, Mas! Kamu bilang akan mempertahankan dia, kan? Kamu bilang akan berjuang meski dokter menyerah, kan?"

Ardian tak mengatakan apapun. Ia cukup terluka saat tepat di depan matanya, ia menyaksikan kepergian putranya. Detik-detik di mana jantung itu benar-benar tak lagi berdetak. Bagaimana ia meminta dokter untuk mengembalikan putranya, tapi sosok itu telah pergi untuk selamanya.

"Mas ...." Laras menarik kemeja pria itu. Tubuhnya mulai lemas kala kembali berada di ambang kesadaran.

Ardian tak mengatakan apapun. Hanya mengangkat tubuh sang istri. Menggendongnya. Berniat membiarkan wanita itu beristirahat di kamar.

"Vedian ...."

Getar suara Hanum masih dapat didengarnya. Cukup untuk sejenak menghentikan gerakan pria itu. "Di ruang tengah," jawabnya. Mengerti akan maksud mantan istrinya.
.

"Hanum ... kumohon ...." Laras meraih jemari wanita di depannya. Ini kali pertama ia duduk bersimpuh di hadapan sesorang. "Vedian pasti sangat rindu dengan bundanya. Dia pasti mau bangun kalau kau yang memintanya. Dia pasti sembuh kalau kau yang menyemangatinya."

Hanum mengeraskan rahangnya. Tak menyangka jika hari seperti ini akan datang. Wanita yang begitu angkuh di matanya, kini memohon di hadapannya.

"Bagaimanapun dia anakmu. Darah dagingmu. Apa sedikit saja kau tidak khawatir?"

"Berdiri." Hanum membuang muka. Merasa jijik melihat hal yang dilakukan Laras. Kendati mereka berada di tempat yang cukup sepi, tapi ia merasa tak nyaman diperlakukan seperti itu.

Laras bergeming. Tak sedikit pun mengindahkan perintah wanita itu. Tak tahan, Hanum memaksa tubuh wanita di hadapannya untuk kembali berdiri tegak. "Aku tak ada hubungan apapun dengan kalian."

"Vedian masih punya hubungan dengamu," sanggah Laras.

"Dia tanggung jawab ayahnya," sahutnya.

Laras menggeleng. "Mas Ardian tak akan mengucapkan hal itu saat kondisi Arlan kritis." Raut kecewa jelas terpancar di wajahnya mendengar kata yang keluar dari bibir Hanum.

Hanum tak acuh. Berniat meninggalkan tempat itu, tapi dengan cepat Laras menahan pergerakannya.

"Kalau ini keputusanmu, jangan pernah temui Vedian. Biar aku yang merawatnya. Biar aku seutuhnya menjadi ibunya," ujar Laras. Sepasang matanya berubah memandang Hanum tajam. Wanita itu mengeluarkan sebuah flashdisk dari saku. Lantas diberikan pada Hanum. "Semoga kau tak menyesal setelah mengetahui semua tentang Vedian," tambahnya sebelum berlalu.

Hanum memandang benda kecil digenggamannya. Termenung cukup lama sebelum tersentak saat terdengar code blue. Bak orang kesetanan, wanita itu berlari cepat.
.

Langkah Hanum melambat. Perkataan Laras di rumah sakit kembali terngiang selagi suara orang mengaji terdengar semakin jelas. Tubuh wanita itu bergetar semakin hebat. Lututnya lemas. Terduduk begitu saja di antara orang yang duduk melingkar. Melafalkan ayat-ayat suci dari bibir mereka.

Dasha yang berada di sana cukup mengerti. Ia meraih pundak Hanum. Dituntunnya Hanum menuju tengah. Tempat di mana sosok itu terbaring tertutup kain. Tangan Hanum bergetar. Ragu, perlahan menyibak kain itu.

Sesak. Entah ke mana hilangnya semua oksigen yang dihirupnya tadi. Sisa tenaganya benar-benar melebur seketika. Lidahnya semakin kelu. Pandangannya memburam. Terhalang cairan bening yang menumpuk di pelupuk matanya.

Pelan, Hanum menyentuh wajah itu. Paras pucat tanpa ada rona sedikit pun di sana. Diamatinya setiap inchi wajah putranya. Alis hitam tebal. Kelopak mata yang tertutup sempurna. Sontak menghalanginya melihat iris cokelat yang lama tak ditatapnya. Hidung sempurna bak milik sang ayah. Dan bibir tipis yang sangat mirip dengan bibirnya.

Bibir Hanum berkedut. Berniat melafalkan nama sang putra dari sana, tapi tak terdengar apa-apa. Tangannya kini beralih menyentuh bekas luka di bawah mata. Masih terlihat sangat nyata. Dan tentunya tak seberapa dengan luka hati yang dibawanya pergi. Cairan bening lolos dari sudut mata Hanum. Mengalir membentuk aliran sungai kecil tanpa ada niatan untuk Hanum menghapusnya.

Wanita itu menunduk. Lembut, bibirnya menyentuh kening putranya. Sangat lama. Membiarkan dingin dari tubuh yang tak lagi bernyawa itu tersalur dalam tubuhnya. "Vedian ... Bunda sayang kamu, Nak." Untuk kali pertama, kendati dalam hati, kalimat itu terutara.

.
.
.
Bersambung .....

Lanjut yuk!

Love,
Lyndiasari

Jumo, 01.12.20

It's YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang