17

2.5K 223 153
                                    

"Lo tadi ke sana, kan?" Mila melepas tas sekolahnya. Melempar benda itu ke sebuah bangku di pinggir lapangan basket.

Tak ada jawaban. Masih dilihatnya Vean sibuk dengan bola di tangannya.

Mila mengembuskan napas lelah. "Pulang sekolah, kan bisa. Ngapain mesti bolos sekolah lagi, hm?" Ia tak pern mengerti jalan pemikiran lelaki itu. Selalu saja melakukan hal yang dimaunya tanpa memikirkan dampaknya. "Kalau bokap lo tahu, pasti bakal marah lagi."

Vean menghentikan kegiatan men-dribble bola. Mendongak. Fokus ke arah ring sebelum dilayangkan si kulit oranye ke dalam sana. Bola terlepas. Melayang, mengingat Vean melakukan shooting dari jarak ukup jauh. Namun, tak lantas masuk. Hanya berputar mengitari ring sebelum jatuh.

Mila tersenyun sinis. Meremehkan kemampuan bermain Vean yang akhir-akhir ini menurun. Gadis itu mengambil langkah mendekati bola. Mengambilnya, lantas dibawanya seraya memangkas jarak dengan Vean.

"Ve." Satu tangan Mila tergerak untuk menepuk bahu lelaki itu. Namun, Vean lebih dulu menghindar. Berniat pergi dari sana. "Vedian Adinata!" Lepas sudah kekesalan yang dipendamnya. Mila telah dibuat cemas karena ketidakhadiran lelaki itu di sekolah. Sudah ia hubungi Vean berkali-kali, tapi tak juga mendapat jawab. Dan baru sore ini ia mendapati Vean di lapangan basket tempat mereka biasa bermain, tapi Vean tak mengacuhkannya.

"Kalau lo ada masalah, cerita ke gue, Ve! Gue nggak suka lo diamin gini! Gue khawatir sama lo, Ve! Kita udah kenal lebih dari sepuluh tahun, tapi kenapa lo selalu aja gini?" Dada Mila naik turun tak teratur. Ia benar-benar tak lagi dapat menahan emosinya.

"Emang lo siapa?"

Gadis itu membeku. Seolah ada benda tajam yang menikam hatinya, diitatapnya terluka Vean yang masih memunggunginya. Ia tak menyangka jika Vean dapat berujar sedingin itu padanya. "Ve ...." Suara Mila bergetar. Dan entah sejak kapan netranya terasa basah.

"Sedari awal gue nggak pernah ngeikat lo." Vean berbalik. Masih bertahan dengan nada dinginnya.

Mila mendongak. Berusaha menelan air bening yang telah berada di sudut mata. Vean benar. Sadari awal, memang hanya ia yang bergerak. Hanya ia yang merasa peduli. Hanya ia yang menyayangi. Tak lantas Vean balas semua apa yang dilakukannya. Harusnya, sebermula ia memang tak turut campur dalam dunia lelaki itu. Bagaimanapun, sekeras apapun Mila mencoba, Vean hanya nyaman dalam kesendiriannya. "Sorry," ucap gadis itu.

"Gue cuma mau jadi sahabat yang baik buat lo, Ve. Tapi sejak awal, harusnya gue sadar kalau lo enggak butuh itu," lanjutnya. Mila lepaskan bola basket dari tangannya. Dibiarkannya menggelinding selagi dirinya bergerak mengambil tas. Tak menghiraukan keberadaan Vean yang masih mematung di tempatnya, gadis itu memilih berlalu terlebih dahulu.

Berat rasanya menyeret kedua tungkai. Bahkan, kendati Mila memperlambat langkahnya, tak ada tanda-tanda Vean akan mengejarnya. Gadis itu mengembuskan napas  kasar. Sebenarnya, apa yang ia harapkan? Bahkan, ia tak cakap menafsiran rasa nyaman ketika berada di samping lelaki itu. Rasa hangat yang didapatnya kala melihat senyum tipis Vean--yang jarang orang lain temukan. Rasa cemburu tatkala melihat kebersamaan lelaki itu dengan Dasha.

"Gue harap ini bukan akhir, Ve. Lo cuma butuh waktu buat sendiri. Lagi."
.

Rintik air semakin besar. Arlan alihkan pandangan ke atas. Sial. Hujan lagi dan tak ada tanda-tanda jika ini hanya sekadar gerimis. Ia tak mungkin menerobos hujan mengingat mantelnya tertinggal di rumah. Belum lagi, ia bukan seorang yang dapat memacu kendaraan dengan cepat. Sayang juga jika ia harus menitipkan motornya dan memilih pulang dengan taksi.

Lelaki berkulit putih pucat itu berganti menatap layar ponselnya yang menggelap. Hanum marah, lagi. Padahal jika saat-saat seperti ini, yang diharapkannya adalah nada khawatir dari wanita itu, kendati hanya lewat telepon.

It's YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang