18

3K 227 190
                                    

Derap langkah cepat mengiringi brankar yang didorong oleh petugas medis. Terimbangi dengan detakan jantung yang semakin kuat. Belum lagi rasa nyeri yang meremas hati melihat sosok itu kembali jatuh tak sadarkan diri. Hanum biarkan beberapa perawat membawa Arlan masuk IGD. Nyatanya, ia tak dapat berbuat banyak selain hanya menunggu dan berdoa agar putra kesayangannya baik-baik saja.

Wanita paruh baya itu beberapa kali mengembuskan napas. Menautkan jemarinya, tapi tak juga dapat mengurangi rasa cemas. Masih teringat jelas, bagaimana Arlan pulang dalam keadaan basah. Tubuh menggigil serta bibir pucat. Ingin ia berteriak marah. Apa lelaki itu benar-benar sudah bosan hidup, hingga membahayakan nyawanya sendiri? Namun, tubuh sang putra yang tiba-tiba tumbang membuatnya tak berdaya.

Hanum sandarkan punggungnya pada dinding. Sebelum perlahan, dibiarkannya tubuh itu luruh menyentuh lantai. Ditariknya kedua kaki, lantas di dekapnya. Dijadikan tempat menyembunyikan wajah, selagi melepas isaknya.

Sungguh, ia tak punya siapa-siapa lagi selain Arlan. Lantas, terbesit dalam benaknya, bagaimana kelak ia akan melanjutkan hidup jika sosok itu memilih pergi? Siapa yang akan menjadi alasan untuknya tetap bertahan?

"Tante."

Hanum mengangkat pandangan saat sebuah tepukan mendarat di pundaknya. Ditatapnya gadis seusia putranya itu dengan mata sembab. Sebelum dengan cepat, tubuhnya berpindah dalam dekapan. "Arlan ... Arlan ...," racaunya.

"Keira di sini Tante. Percaya, Arlan baik-baik aja." Keira, gadis itu mencoba menenangkan. Hanya ia yang dapat Hanum andalkan. Yang selalu menyemangatinya. Yang dapat sedikit meringankan lelahnya.

Langkah cepat kembali terdengar mendekat. Namun, tak membuat kedua perempuan itu saling melepas peluknya. Hanum masih melingkarkan erat lengannya pada Keira tatkala sebuah suara yang tak asing baginya, menepi ke telinga.

"Hanum ...."
.

Jika melihat paras itu lagi, ingin rasanya ia kembali. Rindu yang ditahannya beberapa tahun meminta untuk terudara. Terlebih tatkala dalam keadaan seperti ini, Ardian rindu menjadi bahu tempat bersandar wanita itu. Namun di sisi lain, luka yang pernah ditorehnya, kembali terbuka lebar. Kembali terputar oleh benaknya, bagaimana pancaran kecewa itu terpantul oleh mata Hanum.

Semua menjadi asing. Bahkan, dalam satu tempat, satu waktu, tak lagi ada tegur sapa. Hanum benar-benar telah memutus semua relasi dengannya. Ardian kembali menghela napas, lantas dihempasnya kasar. Entah telah keberapa kali ia lakukan hal itu. Namun, tak kunjung seorang dokter yang menangani kedua putranya keluar.

Jujur, tak pernah terbayang olehnya keadaan seperti ini akan terjadi. Membayangkan Arlan dalam kondisi buruk pun, ia tak berani. Dan kini, ia tak tahu alasan mengapa putra sulungnya turut tumbang. Ia kira, Vean baik-baik saja. Pikirnya sempat berkata, mungkin hanya lelah belaka. Namun, saat Eshan bercerita jika ia sering mendapati kakaknya dalam keadaan sakit, semua mulai terasa ganjil.

"Ayah hanya belum melihat lebih dalam. Jadi, tak tahu siapa yang sebenarnya cacat." Dan kalimat yang pernah didengarnya itu, semakin membuat prasangka buruknya tertanam kuat.

"Wali dari Arsalan."

Hanum sontak bangkit kala Fariz keluar dari IGD.

"Arlan akan dipindahkan. Mari ikut saya. Ada  beberapa hal yang harus dibicarakan," titah pria berjas putih itu.

Hanum mengangguk sebelum dengan cepat mengikuti dokter yang menangani putranya. Refleks, kaki Ardian turut bergerak untuk mengikuti. Namun, sebuah suara menghentikan niatannya. Menyadarkan bahwa ia kemari tak seorang diri.

Pintu IGD kembali terbuka. Lagi menampakkan seorang dokter dengan raut serius yang sontak membuat perasaannya semakin dilanda cemas.

"Anak saya baik-baik saja, kan Dok?"

It's YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang