Aku tak tahu arah mana yang mesti kutempuh. Waktu memang telah limit, selagi kurangkum kisah kita. Haruskah kucoba kembali melawan arus masa? Atau baiknya kubiarkan raga larut bersamanya?
Bunda, anakmu ingin bercerita banyak sebenarnya. Tentang masa-masa sulit. Tentang rasa sakit. Tentang dia yang sedari awal kukisahkan. Namun, Bunda ... aku lelah. Biarlah esok hari lelap membawaku. Menghapus semua lukaku. Hanya saja, bagaimana mesti kupangkas semua? Bagaimana kuakhiri dongeng ini yang telanjur tersurat?
Kamu. Iya, dirimu. Kutahu, kamu ada di antara manusia yang mengeja tiap aksara ini. Lantas, bagaimana kita harus mengakhiri? Agar kelak dapat kubagi pada Bunda sebelum aku pergi.
It's You, Adasha Mecca.
Dasha beku. Tak mampu berteriak. Hanya mampu membuka mulut lebar-lebar seolah rahangnya hendak jatuh. Tubuhnya mendadak bergetar hebat. Pun jantungnya terpacu cepat.
"Gue nggak mimipi, kan?" Beberapa kali gadis itu mengulang pertanyaan yang sama dalam pikir. Namun, otaknya begitu lambat bekerja. Tak cukup kuat menerima kenyataan bahwa akhirnya nama itu tercantum di sana.
"Sha." Keira menepuk bahu Dasha. Mengernyit bingung mendapati sahabat satu organisasinya yang tiba-tiba mematung.
"Woi! Dasha!" Bagas turut mengibaskan tangan di depan wajah gadis itu. Namun, Dasha masih bergeming. "Dasha! Lo kesamb--"
"Kei." Dasha menurunkan ponsel dalam genggamannya. Bahunya merosot selagi tatap netranya beralih memandang Keira.
Kerutan di kening Keira semakin dalam.
"Arlan ...." Dasha menggantung kalimatnya.
"Arlan?"
"Arlan suka gue!" Dasha memekik girang, lantas bangkit berdiri. Berjingkrak-jingkrak seperti orang tak waras, lantas meraih tangan Keira. Memaksanya berdiri, kemudian diajaknya gadis itu melakukan hal yang sama. "Love you too, Lan! I love you!" Tak puas, gadis itu berlari ke luar menuju lapangan upacara. Melanjutkan aksi teriakannya hingga berhasil menjadi pusat perhatian siswa-siswa yang berlalu lalang.
Tak hanya Keira, semua siswa di ruang OSIS cengo. Mereka paham jika kelakuan Dasha memang seperti ini sedari 'pabrik'. Tak dapat ditawar, tapi dapat dibilang ini puncaknya.
"Temen lo tuh, Kei! Malu-maluin!" Bagas mengusap kasar wajahnya. Nama baik Organisasi Siswa Intra Sekolah dapat tercemar karena satu nyawa itu.
Keira bergeming. Netranya masih jelas terpusat pada gerak-gerik Dasha. Namun, pikirnya jauh tertarik entah ke mana.
.Hanum kembali tersenyum, usai menorehkan tanda tangannya di lembar pertama karyanya. Berlanjut menjabat tangan seorang gadis yang berada di depannya.
"Ditunggu karya selanjutnya, Tan." Gadis bertubuh tinggi, berambut sebahu itu tersenyum simpul. Bangkit berdiri disusul dengan Hanum melakukan gerakan yang sama.
"Totally apa kabar?" Wanita paruh baya itu bertanya.
"Alhamdulillah lancar."
"Tokoh Gilar memang benar-benar menyita perhatian. Kalau kata anak-anak remaja, bikin gamon." Ia terkekah.
"Bukan Gilar-nya, sih, Tan. Pesona Dhimas Arista aja yang enggak ada habisnya."
"Kalau Gilang-nya mau main, pasti dunia heboh." Mereka saling pandang sebelum terkekeh ringan. Hanum rekam paras cantik di hadapannya.
Titania Chandra. Penulis muda yang lebih nyaman disapa Taniachan itu tak terasa telah setahun dikenalnya. Kali pertama, ia dibuat kembali tenggelam dalam masa-masa SMA kala ia ambil jasa menyunting naskah Totally. Hingga novel itu banyak kali dicetak ulang, lantas difilmkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
It's You
Teen FictionDasha pernah mengandai kalau saja hidupnya dapat sedramatis cerita dalam novel yang dibacanya. Bagaimana ia akan mencairkan ice boy, menaklukkan bad boy, atau mengendalikan perasaannya saat bertemu good boy, gadis itu sudah menyiapkan beribu cara ji...