10

1.7K 162 94
                                    

Dasha paksa kelopak matanya tersibak. Sebenarnya ia heran, bagaimana perpaduan variabel dan angka-angka itu dapat menyita atensi seisi kelas, tapi tidak dengan dirinya.

"Disebut persamaan kuadrat karena pangkat tertinggi variabel, yaitu X adalah dua."

Gadis itu menguap bersamaan dengan guru berusia tiga puluhan menjelaskan di depan. Sial. Karena maraton menonton Paddle Pop-nya semalam, kelopak matanya terasa begitu lengket. Kalau saja bukan karena Arlan yang menyukai animasi itu, Dasha tak akan sampai begini. Kemarin, sepulang sekolah ia rela berkunjung ke rumah sepupunya. Membongkar koleksi kaset-kaset masa kecil mereka.

"Tapi gue heran, kenapa Arlan pakai Shadowmaster, bukannya Paddle Pop si tokoh utama." Gadis itu berbisik ke sebelah kanan. Namun, tak mendapat jawaban dari Nanda.

"Ah, gue mikirin Arlan mulu sampai lupa sama Dhimas." Dasha mengambil ponselnya dari saku. Diam-diam memainkannya di kolong meja.

"Na, DA makin ganteng nggak, sih? Gila. Gue nonton akting dia di trailer aja klepek-klepek." Ia terkikik.

Nanda menoleh. Membungkam Dasha dengan tatap tajamnya. Sedangkan gadis mungil itu tak merasa bersalah sama sekali. Malah memamerkan deretan gigi putihnya. Nanda merotasikan bola matanya sebelum kembali fokus ke depan.

"Cara ketiga, pakai rumus abc. Minus b plus minus akar b kuadrat minus 4ac per-2a. Dulu di SMP pernah. Ada yang masih ingat?"

"Oh my God! Gue lupa!" Seruan Dasha sukses mengalihkan perhatian. Gadis itu masih menunduk. Fokusnya masih terpusat pada sebuah artikel yang dibacanya. "Gue lupa Na, kalau hari ini ada acara nobar Totally sama Dhimas Aris--"

"Adasha Mecca!" Bu Retno memotong.

"--ta," lanjutnya dengan nada rendah.

"Jangan kira saya tidak tahu kalau sedari tadi kamu tidak memperhatikan. Saya diam agar timbul kesadaran dari kamu," sinis guru matematika itu, "tapi kalau sudah seperti ini, teman-teman kamu juga dirugikan. Kamu sudah memecah konsentrasi seisi kelas."

Dasha menunduk. Turut menggigit bibir bawahnya.

"Keluar dari kelas saya!"

Sepasang netra Dasha membulat. Ia tak mau mencari masalah lagi. Namun, mengapa banyak perkara selalu membuntutinya? "Tapi Bu--"

"Keluar!"

Dasha memejam kala Bu Retno menaikkan suaranya beberapa oktaf. Ia tak bisa apa-apa. Percuma. Toh, ia juga tak punya argumen kuat untuk tetap berada di kelas. "Sial!" umpatnya.
.

"Gue mesti keluar dari sekolah! Kesempatan nggak akan datang dua kali," ujar Dasha berapi-api.

"Sinting lo emang," Nanda menyeruput es lemonnya, "baru juga diomelin guru udah mau cari masalah lagi."

"Nobar DA, Na! Pas syuting kemarin gue nggak jadi ketemu dia gara-gara si Veve sialan. Dan ini ... masa gue harus ikhlasin lagi?"

Nanda menghela napas. "Lo itu anggota pengurus OSIS, Sha. Coba buat contoh yang baik. Dikit aja nggak papa."

"Elo sih nggak ngingetin gue! Kalau gue inget, gue bisa bolos dari pagi. Kalau gini, kan susah."

Nanda kembali menghela napas, lantas diudarakannya kasar. "Serah lu ae-lah!"

Dasha merengut. Berganti merebut minuman sahabatnya itu saat Pop Ice-nya habis. "Btw, gue keluarnya gimana?"

Netra Nanda membulat sempurna. Tak hanya karena es lemonnya yang tak tersisa, tapi juga karena kalimat yang baru saja gadis di depannya itu keluarkan. "Lo beneran mau bolos?"

It's YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang